Pekerjaan sosial dengan lanjut usia
BAB I : PENDAHULUAN
Peningkatan angka harapan hidup masyarakat Indonesia dari tahun-ketahun
mengalami peningkatan, pada tahun 1980 berkisar 52,2 tahun, tahun 1990 menjadi
59,8 tahun, pada tahun 2000 bertambah menjadi 64,5 tahun dan pada tahun 2010
mengalami kenaikan menjadi 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan mencapai
71,1 tahun. Seiring dengan penekanan terhadap berkembangnya angka kelahiran dan
menurunnya tingkat kematian masyarakat Indonesia, ternyata laju pertumbuhan jumlah penduduk
lanjut usia mengalami peningkatan yang tinggi, pada tahun 1990 masih 12,7 juta
jiwa (6,56%), tahun 2000 menjadi 17,7 juta jiwa (9,77%) dan pada tahun 2020
diperkirakan akan mencapai 28,8 juta jiwa.
Dilihat dari perkembangan komposisi struktur penduduk, Indonesia sudah ada
pada peduduk berstruktur tua ( PBB lebih 7% ), hal ini tentunya sangat
mempengaruhi terhadap perkembangan isue sosial nasional yang akhirnya
menjadikan paradigma pembangunan nasional khususnya bidang kesejahteraan sosial
akan mengalami perubahan. Disatu sisi banyak pendapat yang mengatakan bahwa
meningkatnya jumlah lanjut usia merupakan suatu aset bangsa, disisi lain meningkatnya jumlah peduduk dipandang sebagai
problematika sosial yang sangat memerlukan perhatian khusus. Hal ini bisa kita
cermati bahwa silkus kehidupan manusia secara terus menerus akan mengalami
penurunan fifik, mental dan sosial, selanjut lanjut usia akan mengalami ketidak
mampuan bahkan kehilangan daya tahan kehidupan ekonominya, pemeliharaan
kesehatannya dan sosialnya sehingga cenderung mengalami kergantungan dan
mengalami keterlantaran.
Arus globalisasi
menjadikan arus informasi dan transportasi sepat, tidak saja menjadikan
transpormasi budaya baru akan berkembang, tapi
tingkat mobilitas penduduk akan tinggi, semuanya bisa menciptakan
tuntutan perubahan tata hidup dan
kehidupan dalam masyarakat itu juga berubah. Sistem kehidupan baru di
masyarakat akan disertai tumbuhnya tuntutan butuhan-kebutuhan baru masyarakat
tidak kecuali lanjut usia akan mengalami tata hidup dan kehidupan masyarakat
akan berubah berarti pula akan terjadi perubahan sistim nilai masyarakat,
seperti bentuk kekuarga dari keluarga besar menjadi keluarga kecil, dari
kehidupan pertanian menjadi industri
dll, semua ini bisa menajadikan nilai-nilai yang berlaku pada generasi
sebelumnya tidak lagi menjadi anutan bagi generasi selanjutnya, diantaranya
pemberian perhatian kepada lanjut usia.
BAB II : MASALAH DAN KEBUTUHAN LANJUT USIA
A. Lanjut Usia dan Perspektif Biopsikososial-Religius
Perspektif biopsikososial-religius merupakan perspektif
yang paling banyak dipergunakan dan diterima dalam berbagai aktivitas
profesional pelayanan kemanusiaan khususnya pekerjaan sosial. Untuk memahami
manusia secara utuh; pikiran, perilaku, perasaan, harapan, aspirasi, keinginan,
kebutuhan, penyakit, gangguan, maka harus memahami manusia itu dalam konteks
situasi/lingkungan di mana ia berada pada masa lalu dan masa kini.
Terdapat beberapa masalah yang dialami oleh lanjut usia
ditinjau dari perspektif biopsikososial-religius. Penjabaran dari
masalah-masalah tersebut adalahsebagai berikut ;
1.
Dimensi Biologi/Fisiologi
Hooyman dan Kiyak (1999) yang dipetik oleh Adi Fahrudin
(2000) mengatakan bahwa proses penuaan secara biologi merupakan perubahan fisik
yang menyebabkan berkurangnya efisiensi sistem organ tubuh manusia, seperti
jantung dan sistem sirkulasi. Beberapa tanda-tanda fisik lanjut usia merupakan
perubahan-perubahan dalam wujud fisik seperti; lambatnya tanggapan, kehilangan
keberfungsiaan motorik dan sensori, kecenderungan pada keletihan yang lebih
cepat, penurunan tenaga dan beberapa atau
semua hal ini kadang-kadang
digabungkan dengan penyakit-penyakit kronik atau progresif akibat suatu sifat
ketidakmampuan.
Selanjutny perlu dipahami
bahwa usia lanjut bukan merupakan sebab dari kematian. Kematian lebih
disebabkan oleh suatu penyakit atau patologi. Hal ini karena berbagai perubahan
dalam organisma manusia atau perubahan sejak dari saat kelahiran hingga
kematian yang sifatnya tak pasti. Substansi vital dalam sel-sel yang dipergunakan telah habis, kehilangan
informasi atau kesalahan dalam memberikan kode dari materi genetik asas (DNA),
kelebihan protein dalam sel, atau sejak saat terjadinya proses konsepsi.
Kehilangan sel sejalan dengan rentang kehidupan
organisma, termasuk kehilangan sel-sel neuron (sel dasar dari sistem saraf).
Hal ini dipercayai mempunyai hubungan langsung pada rupa dan perilaku manusia
sejalan dengan pertambahan usia. Walaupun perubahan tubuh berhubungan dengan
lanjut usia, akan tetapi pengaruh persepsinya berkurang. Demikian pula pandangan dan pendengarannya mengalami
penurunan secara bertahap dalam energi dan fungsionalnya walaupun telah muncul
penurunan organik. Dengan kata lain ada suatu penurunan dalam mekanisme homeostatik
dalam organisma yang membuat kepekaan individu meningkat terhadap tekanan
lingkungan.
a. Apa yang dimaksud
Lanjut Usia ?
Lanjut usia
merupakan salah satu peristiwa utama dalam rentang kehidupan seseorang. Usia 65
tahun umumnya merupakan usia pertengahan antara usia menengah dan usia tua (Santrock, 1999). Para ahli gerontologi
yang mengkhususkan perawatan medik pada orang lanjut usia, membagi usia tua
menjadi 2 kelompok, yaitu usia tua pertengahan (65-74 tahun) dan usia tua (75
tahun ke atas). Sementara menurut Pasal
1 Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
memberikan pengertian, “lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia
60 tahun keatas”.
Masyarakat kita
cenderung menggambarkan lanjut usia menurut usia kronologis, sementara pada
masyarakat yang masih tertinggal (primitif), lanjut usia biasanya ditentukan
oleh kondisi fisik dan mental dibanding menurut usia kronologis. Masalahnya
bahwa setiap orang tidaklah memiliki kondisi fisik dan mental yang sama pada
usia 65 tahun, karena penuaan adalah proses individual yang terjadi secara
berbeda pada setiap orang, dan faktor-faktor sosio-psikologis dapat
memperlambat atau mempercepat perubahan yang terjadi.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penuaan.
Penuaan
(menjadi lanjut usia) adalah sebuah proses yang kompleks, di dalamnya banyak
variabel yang mempercepat atau sebaliknya memperlambat proses penuaan tersebut.
Seseorang yang mempunyai sakit dalam jangka waktu yang lama atau menderita
kecacatan, akan lebih cepat menua daripada orang yang sehat (Kail & Kavanaugh, 2000). Pemikiran
secara tepat mengapa kondisi-kondisi itu mempercepat proses penuaan tidaklah
diketahui, namun lebih cepatnya proses
penuaan tersebut mungkin disebabkan berkurangnya latihan fisik, perubahan
bio-kimia yang tidak dikenali, atau akibat stress berat. Secara biologis
beberapa hal yang mempercepat proses penuaan bisa berupa ; kecelakaan, patah
tulang, luka berat, stress berat, dan penyalahgunaan obat atau alkohol.
Kebiasaan atau pola makan yang tidak baik juga bisa mempercepat proses penuaan
(Santrock, 1999).
Faktor lingkungan juga mempengaruhi
proses penuaan. Orang yang secara fisik dan mentalnya aktif cenderung
memperlambat proses penuaan, dan sebaliknya orang yang tidak atau kurang aktif
cenderung mempercepat proses penuaan. Demikian pula, orang yang memiliki cara
berfikir yang positif (positive thinking)
cenderung untuk memperlambat proses penuaan, sementara orang yang sering
gelisah, ketiadaan orang lain untuk berbicara, sering berfikir negatif (negative thinking), dan berada dalam
suatu lingkungan yang asing dalam waktu yang lama, cenderung untuk mempercepat
proses penuaan (Kail & Cavanaugh,
2000).
Bagi
orang-orang yang kurang memiliki kebiasaan merawat fisiknya dengan baik, belum
terlambat untuk berubah, yakni melalui berbagai latihan fisik. Beberapa hasil
studi menunjukkan bahwa program latihan fisik bagi orang lanjut usia sangat
bermanfaat dalam memelihara keberfungsian fisiologis, seperti latihan berjalan,
berenang, dan angkat besi. Aktivitas mental untuk memelihara keberfungsian
kognitif, dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti ; diskusi tentang
sesuatu hal, akan lebih baik dengan mendatangkan pembicara dari luar. Traveling
juga merupakan aktivitas mental bagi para lanjut usia.
2. Dimensi Psikologi
Menurut Hooyman dan Kiyak (1999) dipetik oleh Adi
Fahrudin (2000), proses penuaan psikologi merujuk kepada perubahan dalam hal
proses sensori, proses persepsi dan keberfungsian mental (seperti memori,
pembelajaran dan intelegensi), kapasitas penyesuaian, dan kepribadian. Perilaku
orang lanjut usia sering dibandingkan dengan individu yang lebih muda.
Perbedaan yang tampak antara dua kelompok dilihat pada aspek-aspek psikologi
dari lanjut usia, seperti kemampuan intelektual mereka untuk belajar, pemecahan
masalah dan berkreasi. Agaknya, masing-masing kelompok umur mempunyai kejadian
yang berbeda dan situasi sosial yang berbeda. Hal itu menunjukkan bahwa
penerimaan intelektual lebih berhubungan daripada kesakitan dan penyakit dari lanjut usia.
Kecerdasan termasuk bagian penting dalam kehidupan
seorang lanjut usia manakala mereka dapat meningkatkan penggunaan kemampuan
untuk mengakses, menginterpretasikan dan memanipulasi lingkungannya. Para
lanjut usia dapat mengalami penurunan keberfungsian pengetahuannya yang dapat
diukur, namun demikian mereka dapat bekerja dengan lingkungannya melalui
cara-cara yang bersifat non-intelektual. Sejumlah kajian tentang memori menunjukkan bahwa penampilan
lanjut usia kurang baik dalam eksperimen yang memerlukan pengingatan dalam
jangka pendek. Kalkulasi numerik dan
kecepatan tanggapannya tampak agak berkurang sejalan dengan usia. Namun
keberfungsian verbal muncul secara terus menerus mengalami peningkatan. Ada bukti
yang kuat bahwa orang terus belajar dan merespon pengalaman baru hingga
kematiannya tiba.
Dalam hal kepribadian manusia yang berhubungan dengan
pertambahan usia, sering individu
muncul dengan citra diri dan konsep diri yang berbeda dari imaginasinya. Hal ini dapat
mempengaruhi sikap mentalnya yang akan memberi pengaruh terhadap hubungannya
dengan orang lain. Sering individu menjadi menyadari dirinya, mereka dapat menarik diri dari kejadian-kejadian
sosial dan mulai menolak identitas yang menjadi miliknya dan memperkuat apa
yang dia percayai sebagai penyebab penolakan masyarakat pada dirinya, yaitu
melalui penekanan tentang kemudaan dan keindahan fisik. Menurut Atchley, (2000) yang dipetik oleh Adi
Fahrudin bahwa hal ini bersamaan dengan kejadian-kejadian kehidupan yang
berhubungan dengan lanjut usia, seperti masa pensiun, akan semakin memperkuat citra diri negatif (negative self image).
a. Tugas
Perkembangan Lanjut Usia.
Tahap akhir kehidupan seseorang sebagaimana dikemukakan
oleh Erikson (1963) adalah krisis
psikologis, yaitu krisis integritas versus keputusasaan. Pencapaian integritas
oleh lanjut usia mencerminkan arti dari kehidupannya, dalam hal ini individu
secara bijaksana dapat mengerti
kehidupan dirinya, menyadari tentang kemunduran potensi dan
penampilan, serta siap menghadapi kematian tanpa rasa takut. Dengan kata lain,
lanjut usia yang telah mencapai integritas, menerima semua peristiwa yang sudah
terjadi kepadanya tanpa berusaha untuk menyangkal beberapa fakta yang tidak
mengenakkan. Jika lanjut usia gagal atau tidak mencapai integritas, Jika tidak
mampu mencapai integritas, maka
keputusasaan akan mewarnai kehidupan masa tua, yakni penolakan terhadap kehidupan masa
lalu, ketakutan pada kematian karena mereka merasa tidak cukup waktu untuk
memperbaiki kesalahan masa lalu.
Adapun
tugas-tugas perkembangan lanjut usia meliputi :
1) Dapat menyesuaikan diri dengan menurunnya
kekuatan fisik
2) Mencari
kegiatan yang bersifat pribadi untuk mengganti tugas-tugas terdahulu di waktu
muda
3) Melakukan kegiatan sosial di masyarakat
b. Tiga Kunci
Penyesuaian Psikologis.
Peck (1968) mengemukakan bahwa ada 3 penyesuaian psikologis
utama yang harus diupayakan untuk membantu para lanjut usia menemukan kepuasan
dan arti dalam kehidupannya, yaitu :
· Penyesuaian Pertama
; melibatkan pergeseran dari peran dalam pekerjaan pada masa sebelum lanjut
usia ke pembedaan diri (self-differentiation).
Sejak pensiun, para lanjut usia mengalami perubahan yang relatif rumit dalam
kehidupannya, sehingga mereka harus memperoleh peran-peran baru dalam kehidupan
selanjutnya. Dalam hal ini, lanjut usia harus melakukan penyesuaian terhadap
fakta bahwa mereka tidak lagi mengerjakan sesuatu dalam karir pekerjaannya, dan
harus menemukan suatu identitas baru serta minat-minat baru sesuai dengan usia
tuanya.
· Penyesuaian Kedua ; berkaitan dengan perubahan fisik
yang semakin menurun. Permasalahan kesehatan para lanjut usia mulai
bermunculan, diiringi dengan energi yang mulai berkurang. Dalam hal ini para
lanjut usia sedapat mungkin mampu melakukan penyesuaian sehingga menemukan
kepuasan hidup meskipun aspek kesehatan fisik sudah menurun.
· Penyesuaian Ketiga ; melibatkan perubahan dari
self-preoccupation ke self-transcendence, dalam hal ini para lanjut usia akan
menghadapi suatu masa bahwa kematian akan menghampiri mereka. Namun demikian,
meskipun kematian merupakan proses yang dapat menimbulkan depressi bagi
seseorang, Peck (1968)
mengindikasikan bahwa orang yang dapat menerima secara positif akan datangnya
kematian, akan mampu menjalani sisa kehidupannya dengan lebih tenang. Mereka
berpikir, “apa yang dapat saya lakukan agar membuat hidup lebih berarti ?”
c. Kepercayaan Diri (Self-Esteem).
Kepercayaan
diri merupakan faktor kunci dalam kebahagiaan dan penyesuaian dalam kehidupan
seseorang. Sebagaimana menurut Cooley
(1902) dalam teorinya “Looking glass self”
(cermin diri), bahwa orang-orang mengembangkan perasaan mereka ketika bergaul
dengan orang lain. Jika orang lanjut usia diperlakukan oleh orang lain yang
lebih muda sebagai orang yang berpenampilan kuno, uzur/pikun, tidak cakap,
ketergantungan, maka para lanjut usia cenderung untuk memandang diri mereka
dengan cara yang sama. Pada sisi lain, dengan kehilangan beberapa teman dekat
dan keluarga karena kematian, hilangnya peran di pekerjaan, serta menurunnya
kemampuan fisik dan psikis, menjadikan orang lanjut usia kurang memiliki rasa
kepercayaan diri.
d. Depressi dan masalah Emosional lainnya.
Para
lanjut usia sering dipandang sebagai orang yang kesepian. Banyak diantara
mereka yang berusia 70 tahun ke atas hidup sendirian baik karena berpisah
dengan pasangan, ditinggal mati oleh pasangan atau memang mereka hidup
sendirian tanpa menikah. Ketika seseorang hidup dalam sebuah perkawinan dalam
jangka waktu yang lama, dan tiba-tiba pasangan hidupnya meninggal dunia, mereka
merasakan kesendirian dalam menjalani kehidupannya, dan memandang kehidupan ke
depan sebagai hal yang penuh dengan kehampaan. Keadaan tersebut menyebabkan
orang lanjut usia menjadi depressi dan mengalami masalah emosional lainnya,
seperti bersikap apatis terhadap lingkungannya, dan menarik diri sebagai bentuk
dari kemunduran tingkah laku.
e. Religi dan
Spiritual.
Religi dan
spiritual merupakan komponen penting bagi kehidupan para lanjut usia,
sebagaimana penting pula bagi semua kelompok usia. Agama dipandang sebagai
faktor penting yang mencerminkan kesejahteraan atau kesehatan emosional dalam
kehidupan lanjut usia. Koenig, George dan
Siegler (1988) bertanya kepada 100
orang lanjut usia baik pria maupun wanita, usia mulai dari 58 sampai 80 tahun,
untuk menceriterakan peristiwa yang terburuk dalam kehidupan mereka, dan bagaimana cara mereka
mengatasinya. Dari sejumlah jawaban, ditemukan bahwa cara mereka mengatasi
masalah (coping strategies) adalah
dengan pendekatan religi, berupa : berdo’a, menempatkan keyakinan dan iman di
dalam Tuhan YME, memiliki teman yang aktif di tempat peribadatan (Gereja),
mengambil bagian dalam aktivitas di Gereja, membaca Alkitab.
f. Pedoman untuk
Membantu Mempersiapkan Lanjut Usia Memiliki Sifat Psikologis yang Positif.
Menjadi lanjut usia adalah sebuah
proses yang panjang dalam kehidupan seseorang. Mencapai usia 65 tahun tidak
serta merta menghancurkan kesinambungan hidup seseorang pada masa sekarang
maupun tahun-tahun kehidupan selanjutnya. Mengenali fakta yang demikian akan
mengurangi atau bahkan menghilangkan perasaan takut seseorang karena ia akan
dan atau telah menjadi tua. Bagi mereka yang memiliki kemampuan
ekonomi/keuangan yang mencukupi, kesehatan yang baik, dan memiliki kesiapan
untuk memasuki usia tua, lanjut usia dapat merasakan kehidupannya sebagai hal
yang menyenangkan.
Beberapa orang lanjut usia mungkin mampu melakukan
kegiatan usaha ekonomi, kegiatan berdasarkan hobbi atau dilibatkan dalam
berbagai aktivitas yang berarti baik dalam bidang keagamaan maupun sosial
kemasyarakatan. Sebagian lagi, para lanjut usia melakukan aktivitas memancing
untuk menemukan kesenangan dan relax, atau piknik ke berbagai tempat yang
menyenangkan. Ada pula mereka yang merasakan kesenangan di masa tuanya dengan
melakukan aktivitas sesuai minatnya, seperti berminat ke tanam-menanam,
mebeulair, jahit menjahit, menenun, lukisan, fotografi, dsb.
Beberapa faktor
yang berhubungan dengan kepuasan hidup orang lanjut usia, meliputi :
1) Kedekatan relasi
personal.
Memiliki relasi
yang dekat dengan orang lain adalah penting dalam kehidupan lanjut usia. Mereka
yang memiliki sahabat karib merasakan kepuasan dengan hidup yang dijalaninya.
Sejatinya bahwa semua orang memerlukan orang lain untuk berbagi perasaan,
dipercayai dan mempercayai orang lain. Lanjut usia yang memiliki orang lain
yang bisa dipercayai, menjadikan mereka mampu mengatasi berbagai cobaan yang
muncul selama proses penuaan.
2) Pembiayaan.
Kesehatan
dan pendapatan adalah dua faktor yang saling berhubungan erat dengan kepuasan
hidup para lanjut usia. Ketika orang-orang berada dalam perasaan yang baik dan
mempunyai uang, mereka dapat lebih aktif dalam kehidupannya, seperti pergi ke
luar rumah untuk makan, mengunjungi tempat-tempat wisata, dan seterusnya,
sehingga mereka memperoleh kebahagiaan dibanding mereka yang terus-terusan
tinggal di rumah. Menabung sejumlah uang untuk cadangan pembiayaan dikehidupan
mendatang menjadi penting, sekaligus sebagai pelajaran dalam mengatur anggaran
dengan bijaksana.
3) Minat dan Hobi.
Secara psikologis
orang-orang yang suka mengalami trauma karena memasuki pensiun (post power syndrome), mereka
mengembangkan self-image dan minat dengan memusatkan pada pekerjaan. Orang yang
mempunyai minat dan hobi yang bermakna dalam kehidupannya, setelah masa pensiun
mencoba memanfaatkan waktu luangnya dengan melakukan aktivitas yang dapat
menggantikan pekerjaan semula.
4) Identitas Diri.
Orang yang merasa
senang dan realistis terhadap kehidupannya sekarang dan apa yang mereka
inginkan agar dapat hidup dengan lebih baik, merupakan kesiapan untuk mengatasi
tekanan dan krisis yang mungkin terjadi.
5) Pandangan ke arah masa depan.
Orang yang selalu
memikirkan masa lalunya atau pencapaian prestasi di masa lalu, cenderung
mengalami depressi pada saat memasuki lanjut usia. Sementara orang yang
memikirkan atau menantikan kehidupan di masa depan biasanya mempunyai minat
yang tinggi untuk menemukan tantangan baru dan kepuasan baru dalam menjalani
sisa waktu kehidupannya. Dengan berpandangan ke arah masa depan, seseorang
dapat merencanakan ketika masa pensiun datang, seperti merencanakan dimana dan
dengan siapa mereka akan tinggal, dengan masyarakat yang bagaimana mereka akan
hidup bersama, dan merencanakan bagaimana memanfaatkan waktu yang tersedia
dalam hidupnya.
6) Mengatasi
Krisis.
Jika seseorang
yang belum beranjak lanjut usia, sudah mulai belajar secara efektif bagaimana
mengatasi krisis, hal ini merupakan keterampilan yang sangat bermanfaat ketika
memasuki lanjut usia. Keefektifan cara mengatasi krisis tersebut merupakan
pembelajaran untuk mengatasi permasalahan yang muncul secara realistis dan
konstruktif.
3. Dimensi Sosial
Hooyman dan Kiyak (1999) mengatakan bahwa proses penuaan
sosial (social aging) merupakan
perubahan peranan dan hubungan individu
dalam struktur sosial, misalnya dengan keluarga dan kawan-kawan, dalam peranan
yang berbayar dan tak berbayar, dan dengan organisasi termasuk kumpulan
keagamaan dan politik. Seperti halnya proses penuaan biologi dan psikologi,
dalam proses penuaan sosial ini peranan sosial para lanjut usia dan hubungan
mereka juga berkurang. Hal ini mencakup kehilangan dari fungsi-fungsi pemeliharaan anak, kehilangan dari peranan
kakek-nenek, kehilangan pekerjaan, dan beberapa peranan lainnya. Disini
menunjukkan adanya bukti bahwa dampak negatif dari "kehilangan peranan" dan isolasi sosial. Tampaknya,
hilangnya sumber-sumber yang progresif cenderung menimbulkan perasaan
kehilangan bantuan. Perasaan ini pada gilirannya, menimbulkan adanya
kebimbangan pada orang lanjut usia yang mencoba untuk mengatasinya, dengan
cara-cara penyesuaian yang berbeda, beberapa diantaranya bahkan gagal.
Stres sebagai
hasil dari perubahan yang drastik seperti hilangnya penghasilan, kematian dari
pasangan hidupnya atau relokasi dari berbagai pilihan menimbulkan shock pada orang lanjut usia dan
menyebabkan penyimpangan perilaku, emosional dan fisik. Kurang penting untuk
dilontarkan, beberapa dari penyimpangan ini mungkin dapat dicegah dengan
praktik dan kebijakan sosial yang akan menggantikan lingkungan sosialnya lebih
simpatik untuk orang-orang lanjut usia.
Adaptasi dan penyesuaian
pada lanjut usia yang penting adalah sebagian tergantung pada sejarah
kehidupannya, akibat perubahan yang begitu besar dan mendadak seperti perubahan
status, sifat hubungan-hubungan yang terdahulu dan caranya dalam mengatasi
krisis kehidupan yang lalu, juga tergantung pada kemauan dari masyarakat untuk
memberikan pelayanan dan dukungan sebelum atau selama mengalami krisis.
Masyarakat
manusia memiliki kebiasaan yang berbeda dalam memperlakukan orang-orang lanjut
usia yang tidak memiliki kemampuan. Ada masyarakat yang kurang menghargai
keberadaan lanjut usia, bahkan ada masyarakat yang membiarkan lanjut usia
terlantar kelaparan hingga meninggal, sehingga meninggalkan kesan adanya
perlakukan salah terhadap lanjut usia, Sementara pada masyarakat yang lain ada
yang memperlakukan orang lanjut usia dengan baik, tetap menghormati keberadaan
mereka.
Secara
individual, orang lanjut usia secara dramatis dipengaruhi oleh interaksi mereka dengan orang-orang lainnya melalui
sistem mikro, mezzo, dan makro.
Sistem mikro
yakni interaksi antara individu lanjut usia dengan lingkungan terdekat, seperti
dengan keluarga atau lembaga pelayanan dimana mereka tinggal. Sistem mezzo, merupakan
interaksi lanjut usia dengan lingkungan di luar keluarga/lembaga, seperti
dengan masyarakat setempat, dan sistem makro dimana individu lanjut usia berada
dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas.
Dalam kaitannya
dengan sistem makro, ada dua dimensi, yaitu :
· Dimensi pertama : memberikan perhatian terhadap masalah orang lanjut usia
secara individual yang berhubungan dengan sistem atau lingkungan makro,
meliputi ; kemiskinan, kekurangan gizi, berbagai masalah kesehatan, perlakuan
salah terhadap lanjut usia, dan ketiadaan transportasi yang khusus bagi
mereka.
· Dimensi kedua : peran sistem
lingkungan makro untuk memberikan perhatian terhadap masalah yang dihadapi
lanjut usia, yang berfokus pada pemberian dukungan dan pelayanan
4. Dimensi Religius
Perubahan-perubahan fisiologi, psikologi dan sosial turut
memberi pengaruh pada perubahan pada dimensi religius. Lanjut usia yang dapat
menerima hakekat penuaan mereka menganggap hari tua merupakan peluang untuk
pengisian dengan kehidupan beragama. Namun tidak sedikit pula diantara lanjut
usia tersebut terutama perubahan fisiologi, psikologi dan sosial yang drastik
menyebabkan mereka kehilangan keyakinan akan Tuhannya. Hal ini turut memberi
implikasi pada perubahan dalam aspek harapan hidup mereka. Motivasi kehidupan
mereka turut berubah. Dalam dimensi religius, faktor penting yang perlu
dipahami pekerja sosial adalah bagaimana falsafah hidup, kedamaian hidup, makna hidup,
tujuan hidup, semangat hidup pada lanjut usia serta bagaimana ketegaran iman
yang mereka tunjukkan ketika menghadapi cobaan dalam kehidupan mereka.
B. Kebutuhan Lanjut Usia
Lanjut usia sebagai manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan
sebagaimana umumnya, yaitu kebutuhan makanan, perlindungan, perawatan kesehatan
dan kebutuhan-kebutuhan sosial dalam mengadakan hubungan dengan orang lain.
Kebutuhan-kebutuhan
utama (primer) lanjut usia meliputi :
1.
Kebutuhan biologis/fisik; yang meliputi kebutuhan makanan
yang bergizi, seksual, pakaian dan perumahan/tempat berteduh.
2.
Kebutuhan ekonomi; yaitu berupa penghasilan memadai.
3.
Kebutuhan kesehatan; berupa kesehatan fisik, mental,
perawatan dan keamanan.
4.
Kebutuhan psikologis; yang meliputi kasih sayang, adanya
tanggapan dari orang lain, ketentraman, merasa berguna, memiliki jati diri
serta status yang jelas.
5.
Kebutuhan sosial ; yaitu berupa peranan-peranan dalam
hubungan dengan orang lain, hubungan antar pribadi dalam keluarga, teman-teman
sebaya dan hubungan dengan organisasi-organisasi sosial.
Kebutuhan-kebutuhan
kedua (sekunder) lanjut usia antara lain meliputi;
1.
Kebutuhan dalam melakukan aktivitas.
2.
Kebutuhan dalam pengisian waktu luang dan rekreasi.
3.
Kebutuhan yang bersifat kebudayaan, seperti informasi dan
pengetahuan, keindahan, dan lain-lain.
4.
Kebutuhan yang bersifat politis, yaitu meliputi status,
perlindungan hukum, partisipasi dan keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan dan negara atau pemerintah.
5.
Kebutuhan yang bersifat keagamaan/spiritual seperti
memahami akan makna kehadiran dirinya di dunia ini dan memahami hal-hal yang
tidak diketahui atau di luar kehidupan, termasuk kematian.
Berdasarkan uraian masalah dan kebutuhan lanjut usia
tersebut di atas, secara ringkas permasalahan yang dialami lanjut usia meliputi
:
1.
Biologis ; lanjut
usia mengalami perubahan fisik dengan tanda-tanda fisik antara lain ;
• lambatnya tanggapan,
• kehilangan
keberfungsiaan motorik dan sensori,
• keletihan yang
lebih cepat,
• penurunan tenaga,
•
timbulnya penyakit-penyakit
kronik atau progresif dari suatu sifat ketidakmampuan.
2. Psikologis ; lanjut usia mengalami perubahan-perubahan
dalam proses sensori, persepsi dan keberfungsian mental (seperti memori,
pembelajaran dan intelegensi), kapasitas penyesuaian, dan kepribadian.
Secara psikologis, tugas-tugas
perkembangan lanjut usia meliputi :
• dapat menyesuaikan diri dengan menurunnya
kekuatan fisik
• mencari kegiatan
yang bersifat pribadi
• melakukan kegiatan sosial di masyarakat/lingkungan
sosial
3. Sosial ; lanjut usia mengalami perubahan-perubahan
peranan dan hubungan individu dalam struktur sosial (keluarga, masyarakat,
pemerintah/ negara).
4. Religius : agama dipandang sebagai faktor penting yang mencerminkan
kesejahteraan atau kesehatan emosional dalam kehidupan lanjut usia. Namun
tidak sedikit pula diantara lanjut usia terutama karena perubahan fisiologi,
psikologi dan sosial yang drastis menyebabkan mereka kehilangan keyakinan akan
Tuhannya.
BAB III. PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA
A.
Pekerjaan Sosial Bagi Lanjut Usia
Pekerjaan sosial
merupakan profesi yang memberikan pertolongan kepada orang-orang yang mengalami
kesulitan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Berkaitan dengan hal
tersebut Walter A. Friedlander
(Syarif Muhidin), mengartikan pekerjaan sosial sebagai “suatu pelayanan
profesional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam relasi
kemanusiaan, yang bertujuan membantu baik perorangan, keluarga maupun kelompok
untuk mencapai kepuasan dan ketidaktergantungan secara pribadi dan sosial”.
Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa pekerjaan sosial sebagai profesi yang
memberikan pertolongan kepada klien baik individu (lanjut usia), kelompok
maupun masyarakat didasarkan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan, dalam hal
ini adalah menggunakan metode, keterampilan, dan teknik-teknik pekerjaan
sosial.
Sementara itu National
Association of Sosial Workers /NASW tahun 1973 (Morales, 1983) yang
mendefinisikan bahwa pekerjaan sosial merupakan aktivitas professional yang
bertujuan dalam membantu individu, kelompok atau masyarakat untuk memperkuat
kemampuannya sendiri dalam keberfungsian sosial serta menciptakan
kondisi-kondisi kemasyarakatan yang menunjang tujuan tersebut. Kalimat pertama
dalam definisi tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan sosial merupakan suatu
aktivitas professional. Sebagai aktivitas preofesional, maka pelayanan yang
diberikan oleh seorang pekerja sosial dapat didefinisikan secara tegas melalui
pengetahuan, nilai-nilai serta keterampilan secara spesifik. Kalimat pertama
dari definisi tersebut juga menunjukkan bahwa pekerja sosial melakukan praktik
pertolongannya pada berbagai tipe klien, baik individu, kelompok, maupun
masyarakat. Definisi di atas juga menekankan bahwa fokus perhatian pekerja
sosial adalah keberfungsian sosial yang meliputi interkasi antara manusia
dengan lingkungan sosialnya.
Definisi di atas
juga menunjukkan bahwa fokus perhatian pekerjaan sosial adalah keberfungsian
sosial yang meliputi interaksi antara manusia dengan lingkungan sosialnya.
Siporin (1975), Johson (1989) Zastrow (1992), maupun Morales (1983) menjelaskan
bahwa keberfungsian sosial mengacu pada berbagai fokus yang cukup luas yang
meliputi :
· kemampuan
menghadapi atau memecahkan masalah yang dihadapinya sesuai dengan situasi dan
kondisi, serta lingkungannya.
· Kemampuan
berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan sosialnya, baik dalam
pendidikannya, pekerjaan, keluarga, kelompok, masyarakat dasn sebagainya secara
konstuktir.
· Pelaksanaan
tugas-tugas serta peran-peran dalam kehidupannya sesuai dengan usianya, status,
serta tanggung jawab yang disandangnya.
· Berperilaku
secara memadai dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
· Keberfungsian
sosial menunjukkan suatu kondisi pertukaran yang seimbang, dalam kebaikan,
serta adaptasi timbale balik, antara manusia sebagai individu dengan
lingkungannya.
· Dengan demikian,
keberfungsian sosial merupakan hasil sistematik dari sebuah pertukaran yang
saling mengisi antara kebutuhan, sumber daya yang tersedia, harapan/motivasi
dengan kemampuan seseorang untuk memenuhinya, antara tuntutan, harapan serta
kesempatan dengan kemampuan lingkungan untuk memenuhinya.
Selain definisi
tersebut, pekerjaan sosial melaukan praktek pertolongannya secara langsung (direct
services), yaitu meningkatkan serta memperbaiki kemampuan orang/kelompok
sasaran dalam mencapai keberfungsian sosial, serta secara tidak langsung (indirect
services) yang berupaya untuk mengubah, memperbaiki, serta membangun
kondisi kemasyarakatan yang berkaitan erat dengan keberfungsian sosial orang.
Selanjutnya,
Betty L. Baer dan Ronald Federico (Morales, 1983) mengidentifikasi 10 (sepuluh)
kompetensi awal dari seorang pekerja sosial :
1. mengidentifikasi
dan melakukan assessment terhadap situasi dimana hubungan antara orang dengan
institusi sosial perlu dirintis, diperkuat, diperbaiki, atau perlu diakhiri.
2. mengembangkan
serta mengimpelementasikan suatu rencana yang bertujuan untuk kesejahteraan
individu yang berlandaskan pada assessment masalah, eksplorasi tujuan serta
pengembangan alternative pemecahan.
3. mengembangkan
atau memperbaiki kemampauan orang dalam menghadapi, memecahkan masalah, serta
kemampuan pengembangan diri klien.
4. menghubungkan
orang dengan sistem yang dapat memberikan sumber pelayanan, maupun kesempatan.
5. memberikan
intervensi secara efektif dengan mengutamakan populasi sasaran yang paling
rentan, atau terkena diskriminasi.
6. mengembangkan
efektivitas pelayanan serta meningkatkan kemanusiaan kinerja sistem yang
memberikan pelayanan, sumber, maupun kesempatan.
7. secara aktif
berperan serta dengan pihak lain untuk menciptakan, memodifikasi, serta
meningkatkan sistem pelayanan yang ada agar lebih responsive terhadap kebutuhan
klien.
8. melakukan
evaluasi sample seberapa jauh tujuan yang telah direncanakan dapat tercapai.
9. secara terus
menerus melakukan evalualsi atas pengembangan profesionalisme melalui assessment
atas perilaku maupun keterampulan prakteknya.
10. memberikan
kontribuasi pada peningkatan mutu pelayanan dnegan cara mengembangkan landasan
pengetahuan profesionalnya serta menjunjung tinggi standar atau etika profesi
B. Pelayanan Sosial Bagi Lanjut Usia
1. Pengertian Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial
(social service) merupakan istilah
yang digunakan untuk semua pelayanan (services)
dan manfaat (benefits) yang
berorientasi orang (Wickenden, 1976). Spicker (1995), menyatakan bahwa
pelayanan sosial meliputi jaminan sosial, perumahan, kesehatan, pekerjaan
sosial, dan pendidikan (sebagai lima besar). Ini merupakan pelayanan sosial
secara luas. Selanjutnya, Romanyshyn
(1971) memberikan arti pelayanan sosial sebagai usaha-usaha untuk
mengembalikan, memertahankan, dan meningkatkan keberfungsian sosial
individu-individu dan keluarga-keluarga melalui (1) sumber-sumber sosial
pendukung, dan (2) proses-proses yang meningkatkan kemampuan individu-individu
dan keluarga-keluarga untuk mengatasi stress dan tuntutan-tuntutan kehidupan
sosial yang normal. Pengertian yang dikemukakan oleh Romanyshyn ini mendekati
pengertian dalam UU No 11 Tahun 2009 (pasal 1, ayat2) yang menyatakan pelayanan
kesejahteraan sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang
dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk
pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara, yang
meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan
perlindungan sosial. Berdasarkan pengertian di atas maka pelayanan sosial pada
hakekatnya mempunyai fungsi pencegahan (preventive),
perawatan dan pemulihan (curing), dan
pengembangan (developmental).
Dalam
konteks pelayanan sosial lanjut usia maka pelayanan tersebut juga sejalan
dengan fungsi-fungsi pelayanan sosial di atas sehingga pelayanan sosial kepada
lanjut usia ada yang bersifat pencegahan dari timbulnya masalah pada lanjut
usia, perawatan dan pemulihan dari permasalahan yang dihadapi dan pengembangan
potensi sesuai dengan kemampuan agar tetap menjadi lanjut usia yang aktif. Pelayanan yang bersifat pencegahan
termasuklah kegiatan yang bersifat kampanye guna penyadaran masyarakat tentang
perlakuan yang manusiawi terhadap lanjut usia, penanaman nilai-nilai luhur
penghormatan kepada orang yang berusia lanjut dan program perlindungan dan
pelayanan luar panti yang ditujukan guna mencegah lanjut usia mengalami
keterlantaran dan permasalahan sosial lainnya. Pelayanan sosial yang bersifat
perawatan dan pemulihan kepada lanjut usia dapat dilakukan dalam pelayanan
panti maupun luar panti. Manakala pelayanan yang bersifat pengembangan
ditujukan untuk mengembangkan potensi lanjut usia khususnya lanjut usia yang
produktif agar tetap aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Prinsip-Prinsip Pelayanan Sosial Lanjut Usia
Pelayanan sosial
lanjut usia dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa prinsip, seperti : tidak
memberikan stigma (destigmatisasi), tidak mengucilkan (deisolasi), menghindari
sikap sensitif (desensitiasi), pemenuhan kebutuhan yang tepat, pelayanan yang
komprehensif, tidak membesar-besarkan masalah (dedramatisasi) dan menghindari
sikap belas kasihan (desimpatisasi), dan lain-lain.
a. Tidak memberikan stigma (destigmatisasi). Pada dasarnya kelanjutusiaan dan
masalah-masalah yang menyertainya seperti kesepian, kurang pendengaran dan
penglihatan, lemah secara fisik, ialah suatu proses alamiah yang suatu saat
pasti terjadi kepada semua orang. Kesulitan-kesulitan seperti tersebut di atas
terasa cukup berat bagi lanjut usia untuk menanggungnya, oleh karena itu tidak
perlu diberikan kepadanya cap baru antara lain “lanjut usia tidak berguna
lagi”.
b. Tidak mengucilkan (deisolasi). Sama seperti manusia lain, lanjut usia
tidak ingin dikucilkan dari pergaulan sosialnya, melainkan ia juga ingin
mencintai dan dicintai, menerima dan diterima, menemani dan ditemani,
manghargai dan dihargai.
c. Menghindari sikap sensitif (desensitiasi). Seperti manusia lainnya lanjut usia
memiliki perasaan sensitif (marah, tersinggung, kecewa, tidak berharga) atas
kesulitan-kesulitan yang menyertai kelanjutusiaannya. Untuk itu ia perlu
ditolong untuk menghadapi kesulitan-kesulitannya.
d. Pemenuhan kebutuhan secara tepat. Program-program yang dirancang untuk
menolong lanjut usia dalam mengatasi masalah-masalah atau meningkatkan peranan
sosialnya harus dapat secara nyata memenuhi kebutuhannya secara tepat dimana ia
berada.
e. Pelayanan secara komprehensif. Program-program yang dirancang untuk
menolong lanjut usia dalam mengatasi masalah-masalahnya atau meningkatkan
peranan sosial mereka harus beraneka ragam dalam arti tidak hanya sekedar
memberi alat bantu mobilitas (kursi roda, misalnya), tetapi jauh lebih daripada
itu yaitu memberi ketrampilan mobilitas mandiri dan memberi akses ke
sumber-sumber yang lebih luas.
f. Tidak membesar-besarkan masalah (dedramatisasi). Kelanjutusiaan menimbulkan beberapa
kesulitan seperti kesepian, kurang pendengaran dan penglihatan, lemah secara
fisik, dan lain-lain. Dalam hal ini ia harus diberikan pengertian agar tidak
membesar-besarkan seolah-olah kesulitan itu tidak dapat diatasi lagi.
g. Menghindari sikap belas kasihan (desimpatisasi). Memperlihatkan simpati yang bernada
belas kasihan dapat mendorong timbulnya perasaan tidak berdaya bagi diri lanjut
usia. Kepadanya hendaknya diberi dorongan semangat yang membuatnya tegar dan
dapat mengatasi secara mandiri.
h. Pelayanan yang cepat dan tepat. Pelayanan sosial bagi lanjut usia
haruslah dilakukan secara cepat dan tepat. Cepat berarti tidak berbelit-belit
dan dalam waktu relatif singkat dan tepat berarti sesuai kebutuhan, masalah dan
kemampuan penerima pelayanan.
i. Pelayanan yang bermutu. Pelayanan yang bermutu adalah pelayanan yang menjamin
kepuasan penerima pelayanan. Untuk menjamin kepuasan, maka kualitas pelayanan
sangat menentukan.
j. Pelayanan yang efektif dan efisien. Disamping cepat dan tepat dan memberi
jaminan mutu implementasi program-program yang dirancang bagi lanjut usia harus
memperhatikan prinsip tepat guna dan tepat sasaran.
k. Pelayanan yang akuntabel. Pelayanan yang diberikan harus dapat dipertanggung
jawabkan kepada masyarakat.
3.
Jenis Pelayanan Sosial bagi Lanjut Usia
a. Home care yaitu
pelayanan harian terhadap lanjut usia yang tidak potensial yang berada
dilingkungan keluarganya yang berupa bantuan bahan pangan atau makanan siap
santap dengan tujuan agar terpenuhinya kebutuhan hidup lanjut usia secara
layak.
b. Day care services atau pelayanan harian lanjut usia merupakan model
pelayanan sosial yang disediakan bagi lanjut usia, bersifat sementara,
dilaksanakan siang hari di dalam atau di luar panti dalam waktu tertentu yaitu
maksimal 8 jam, dan tidak menginap yang dikelola oleh pemerintah atau
masyarakat secara profesional.
c. Foster care yaitu Pelayanan sosial yang diberikan kepada lanjut usia
terlantar melalui keluarga orang lain,
berupa bantuan bahan pangan atau makanan siap santap dengan tujuan agar
terpenuhinya kebutuhan makan agar lanjut usia dapat hidup secara layak.
d. Bantuan Paket Usaha Ekonomis Produktif (UEP) adalah
bantuan yang diberikan kepada lanjut
usia kurang mampu yang masih potensial secara perorangan yang didahului
bimbingan sosial dan keterampilan.
e. Bantuan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah bantuan
paket usaha produktif secara kelompok yang diberikan kepada lanjut usia
potensial (1 kelompok terdiri dari 5 sampai 10 orang) yang didahului dengan
Bimbingan Pengembangan melalui KUBE Lanjut Usia.
f. Jaminan Sosial
Lanjut Usia (JSLU), sekarang diganti menjadi Asistensi Sosial Lanjut Usia
(ASLUT); diberikan kepada lanjut usia nonproduktif dan terlantar berupa bantuan
uang (selama ini sebesar Rp.300.000,- per bulan)
C. PELAYANAN
ADVOKASI DAN KEDARURATAN LANJUT USIA
1. Pelayanan Advokasi Sosial
Advokasi sosial
merupakan tindakan yang secara langsung mewakili, mempertahankan, mencampuri,
mendukung, atau merekomendasikan tindakan tertentu untuk kepentingan satu atau
lebih individu, kelompok, atau masyarakat dengan tujuan untuk menjamin atau
menopang keadilan sosial (Mickelson dalam Sheafor dan Horejsi : 2003).
Sementara itu Schneider & Lester (2001) mendefinisikan advokasi pekerjaan
sosial sebagai perwakilan eksklusif dan timbal balik untuk seorang atau
beberapa klien atau untuk sebuah perkara dalam sebuah forum, upaya sistematik
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dalam sistem yang tidak adil atau
tidak responsif.
Selanjutnya
menurut Sheafor & Horejsi bahwa tindakan advokasi bertujuan untuk membantu klien dalam menegakkan hak-hak mereka
untuk menerima sumber-sumber dan pelayanan-pelayanan atau untuk memberikan
dukungan aktif terhadap perubahan-perubahan kebijakan dan program-program yang
memiliki efek negatif pada klien baik secara individual maupun kelompok.
Berdasarkan kedua
pengertian advokasi sosial tersebut, maka advokasi sosial bagi lanjut usia
dapat diartikan sebagai tindakan untuk mewakili atau membela kepentingan klien
(lanjut usia) baik melalui penanganan langsung atau melalui pemberdayaan dengan
tujuan untuk menjamin atau mencapai keadaan lanjut usia yang sejahtera.
2. Tujuan Advokasi Sosial Lanjut Usia
a. Membantu
lanjut usia menegakkan hak-hak mereka dalam menerima pelayanan-pelayanan kesejahteraan
sosial.
b. Memberikan
dukungan aktif terhadap perubahan-perubahan kebijakan dan program-program yang
memiliki efek negatif pada lanjut usia.
3. Bentuk
Advokasi Sosial Lanjut Usia
a. Bantuan Hukum
b. Perawat/Pengasuh Lansia
c. Mediasi
d. Klaim Asuransi
D. BIMBINGAN PSIKOSOSIAL BAGI LANJUT USIA
Sebagai salah satu bentuk layanan kepada Lanjut Usia khususnya di lembaga pelayanan, maka bimbingan psikososial harus dipahami dalam konteks; pengertian, tujuan, proses, strategi dan teknik, pelaksanaan/ implementasi praktek, dan evaluasi terhadap hasil bimbingan psikososial.
Dalam perkembangan dewasa ini,
para ahli pekerjaan sosial telah coba menggabungkan dan melihat bahwa tingkah
laku manusia selalu berkaitan dengan lingkungan sosialnya. Oleh sebab itu
penyelesaian masalah lanjut usia juga tidak terlepas dari aspek psikologis dan
aspek sosial yang saling memberi pengaruh satu sama lain dan ini sangat berguna
dalam penyelesaian masalah yang dihadapi lanjut usia. Berdasarkan hal tersebut
maka Bimbingan Psikososial dapat diartikan sebagai “suatu proses pertolongan
yang dilakukan oleh pekerja sosial untuk menata dan menstrukturkan kembali
kepribadian dengan lingkungan sosial klien agar mereka dapat mencapai tahap
keberfungsian sosial secara optimal”.
1. Tujuan dan Fungsi
Bimbingan Psikososial bagi Lanjut Usia bertujuan untuk;
a. Pencerahan lanjut
usia
b.
Katarsis mental; pengurangan kesedihan, kedukaan
c. Penyelesaian
konflik interpersonal dan memiliki kemampuan menjalin persahabatan yang
bermakna.
d. Penguatan harapan
lanjut usia dan optimisme mengenai masa depannya
e.
Peningkatan efikasi diri, percaya diri, berdaya diri,
harga diri, aktualisasi diri termasuk percaya kepada orang lain di sekitarnya.
f.
Peningkatan perasaan dicintai dan disayangi
keluarga/pengasuh serta merasa menjadi bagian dari keluarga atau komunitas di
lingkungan Panti.
g.
Peningkatan kemampuan untuk mengontrol diri sendiri
dan rasa tanggung jawab atas tindakannya
h.
Pengurangan sikap egoistik dan penguatan kemampuan
berempati dan bersimpati terhadap sesama lanjut usia
i.
Peningkatan kemampuan mendayagunakan daya tindak (coping) dan daya tahan (resilience) dalam memecahkan masalah
serta menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapi.
Fungsi Bimbingan Psikososial bagi Lanjut Usia :
a.
Pencegahan (prevention)
: dengan bimbingan psikososial diharapkan lanjut usia dapat mengantisipasi
dampak psikologis dan sosial dari kemunduran (degeneratif) fungsi tubuh,
berkurangnya aktifitas sosial-ekonomi dan perubahan peran.
b.
Peningkatan (promotion
): dengan bimbingan psikososial, lanjut usia dapat mengidentifikasi potensi
diri dan kemampuan yang masih dimiliki(pengalaman dan yang dapat dikembangkan)
membantu lansia mengidentifikasi potensi yang dimiliki
c.
Terapi (Curation ): dengan bimbingan psikososial pekerja
sosial membantu lanjut usia mengatasi masalah yang dihadapi dengan menggunakan
potensi diri sendiri dan lingkungan ( pekerja social, teman dekat dan keluarga ).
d.
Pemulihan (Rehabilitation)
: dengan bimbingan psikososial diharapkan lanjut usia segera pulih dari
masalahnya sehingga dapat melanjutkan proses kehidupannya dengan lebih nyaman.
2. Prinsip – Prinsip Bimbingan Psikososial
Pelaksanaan
bimbingan psikososial tidak bisa terpisahkan dengan kemampuan komunikasi
seorang pekerja sosial. Komunikasi merupakan proses paling bermakna dalam prilaku
manusia. Komunikasi merupakan cara seorang
pekerja sosial lanjut usia melakukan hubungan dengan lansia dan metode
utama dalam pemberian asuhan. Prinsip melakukan bimbingan psikososial :
a.
Ketulusan (genuineness)
b.
Pemahaman perasaan orang lain (Empathy)
c.
Memberikan
informasi dengan benar (Inform consent)
d.
Menunjukan
penerimaan secara wajar dan tidak membuat penilaian negatif (Acceptance)
e.
Menghormati dan menghargai lansia dan keluarganya
termasuk menjaga kerahasiaan informasi mereka (Confidentiality)
3. Proses Bimbingan Psikososial
Fase awal: Kontrak Terapeutik
Langkah-langkahnya sebagai berikut;
a.
Penyediaan kontrak bimbingan
psikososial.
Pekerja sosial perlu menyiapkan tempat, format bimbingan psikososial,
frekuensi sesi bimbingan psikososial, dan jangka waktu bimbingan psikososial.
b.
Implementasi kontrak bimbingan psikososial.
Pekerja sosial
perlu membuat kesepakatan tujuan bimbingan psikososial yang diadakan dengan
klien, lalu pekerja sosial menilai kesiapan, komitmen dan partisipasi klien.
Fase pertengahan: Operasional
terapeutik
Langkah-langkahnya
sebagai berikut:
a. Pekerja sosial perlu membantu klien memaparkan masalahnya. Dalam hal
ini pekerja sosial bukan hanya memaparkan apa yang klien sampaikan tapi
bagaimana klien berbicara mengenai masalah mereka.
b. Setelah itu, pekerja sosial perlu memahami dan menemukan
beberapa penjelasan mengenai isu dan masalah klien. Pemahaman ini bermaksud pemahaman professional pekerja sosial
berdasarkan keahlian dan kompetensi yang dimilikinya. Pemahaman professional terhadap
masalah ini difokuskan kepada masalah klien, pengaruh klien dan pemahaman klien
atas diri dan masalahnya sendiri.
c. Pekerja sosial melaksanakan bimbingan psikososial menggunakan
teknik-teknik tertentu yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan klien.
d. Untuk dapat melaksanakan bimbingan psikososial tersebut, pekerja sosial
perlu memastikan tahap kerjasama klien. Perlu diingat oleh pekerja sosial bahwa
keberhasilan bimbingan psikososial amat tergantung dari kerjasama partisipatif
dari klien.
Fase pengakhiran
dan evaluasi
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Pekerja sosial
perlu menilai bagaimana efektivitas bimbingan psikososial yang dilakukan. Untuk
dapat menilai perubahan yang terjadi pada klien, pekerja sosial dapat mengukur
dan membandingkan kondisi psikososial klien sebelum menjalani sesi bimbingan
psikososial dan sesudah menjalani sesi bimbingan psikososial.
b. Dalam hal
tertentu, pekerja sosial dapat menggunakan indeks atau skala tertentu yang
bersesuai untuk mengukur perubahan yang terjadi. Misalnya pekerja sosial dapat
menggunakan Skala Depresi Geriatrik (Geriatric
Depression Scale) untuk menilai tahap depresi klien lanjut usia. Penggunaan
indeks atau skala seperti ini memerlukan kompetensi khusus.
c. Jika pekerja
sosial menilai klien telah mengalami perubahan maka pekerja sosial dan klien
dapat mengakhiri sesi bimbingan psikososial dan meneruskan kepada jenis layanan
yang lain. Sebaliknya jika belum ada perubahan, pekerja sosial perlu menilai
penyebab perubahan itu tidak terjadi pada klien. Penilaian ini harus bersifat
menyeluruh misalnya faktor klien, teknik yang digunakan, dan faktor pekerja
sosial itu sendiri.
4. Strategi dan
Teknik Bimbingan Psikososial
a. Strategi
b. 1) Bimbingan Psikososial Individual
Perhatian yang paling besar dalam
tradisi psikososial diberikan pada proses penyembuhan individual yang disebut one
to one treatment atau intervensi individual, dan hal ini banyak dilakukan
dalam case work. Pendekatan ini merupakan format penyembuhan yang
memungkinkan klien untuk mendapatkan privasi, penerimaan, rasa aman, dan
jaminan situasi yang sangat kondusif untuk membebaskan orang melihat diri
mereka sendiri dengan cara-cara yang baru. Konseling dan terapi individu sering
digunakan dalam pelaksanaan bimbingan psikososial individual.
c. 2)
Bimbingan Psikososial Kelompok
Bimbingan psikososial kelompok merupakan salah satu
tradisi dalam group work. Garvin (1987) mengatakan bahwa mengubah
perilaku individu melalui kelompok lebih efektif daripada secara individual.
Menurut Turner (1978) kelompok dapat membantu individu-individu menemukan rasa
aman, identitas, penerimaan dari teman sebaya, kesempatan untuk menguji
pendapat, mempelajari persepsi baru
tentang realitas dan model-model perilaku baru, membuat bilai-nilai dan
pendapat seseorang ditantang dengan cara yang tidak destruktif, serta
mendapatkan simpati dan pemahaman ketika merasa sakit dan menderita.
d.
3)
Bimbingan Psikososial Keluarga
Bimbingan psikososial keluarga sering dirujuk sebagai
terapi keluarga. Menurut Turner (1978) terapi keluarga
dalam konteks psikososial memiliki dua perspektif, yaitu terapi keluarga
sebagai modalitas praktek (practice modality) dan terapi keluarga
sebagai modalitas orientasi (practice orientation). Sebagai modalitas praktek, terapi keluarga
berhubungan dengan gaya praktek (practice style) dimana seluruh anggota
keluarga bersama-sama secara simultan berada dalam setting terapeutik
formal. Hal yang penting dari proses
teurapeutik dan medium terapi ini adalah proses keluarga itu sendiri, yakni
interaksi di antara berbagai unsur keluarga. Berdasarkan hal tersebut dapat
dikemukakan bahwa perspektif psikososial keluarga merupakan sumber pengaruh
yang penting (critical). Keluarga
memiliki pengaruh yang dapat menjadi sumber pertolongan dan sumber perkembangan
bagi anggota-anggotanya, meskipun pada sisi lain dapat juga menjadi penyebab
stress dan malfungsinya keluarga. Keluarga dapat menjadi sumber masalah, tetapi
juga sekaligus merupakan sumber daya untuk mengatasi masalah.
e. 4)
Bimbingan Psikososial Komunitas
Modalitas
terakhir bimbingan psikososial adalah
bimbingan psikososial komunitas. Dalam hal ini fokus pelayanannya adalah
komunitas atau beberapa segmen dalam komunitas. Hal yang perlu dibedakan antara
bekerja dengan segmen komunitas itu sendiri dan bekerja dengan beberapa segmen
dalam komunitas untuk kepentingan individu, keluarga atau kelompok. Hal penting
yang harus dilakukan oleh pekerja sosial yang melaksanakan bimbingan
psikososial komunitas adalah secara konstan berusaha menentukan letak masalah
yang teridentifikasi dalam sistem, pada komunitas atau pada individu-individu
dan bagaimana mereka berinteraksi secara timbal balik satu sama lain.
b.
Teknik Bimbingan Psikososial
Dalam bimbingan
psikososial kepada lanjut usia baik yang bersifat individual, kelompok, keluarga
maupun komunitas dapat menggunakan beberapa teknik bimbingan psikososial yang
disesuaikan dengan masalah dan kebutuhan lanjut usia.
Teknik-teknik
tersebut antara lain;
1)
Life review
Therapy : terapi kenangan (reminiscence)
Terapi
kenangan atau lebih dikenali dengan Life
Review Therapy merupakan teknik bimbingan psikososial dengan cara
merefleksikan kehidupan yang telah dijalani lanjut usia dan kemudian
memecahkannya, mengorganisirnya dan mengintegrasikan dalam kehidupan sekarang. Life Review Therapy merefleksikan
seluruh pengalaman hidup lanjut usia baik yang tidak menyenangkan maupun
menyenangkan. Dalam kasus lanjut usia yang mengalami depresi, pekerja sosial
bisa menggunakan bagian dari Life Review
Therapy yaitu teknik Reminscence
agar lanjut usia dapat mengenang kembali hal-hal yang menyenangkan dalam
hidupnya selama ini. Teknin ini juga dapat meningkatkan kepercayaan diri lanjut
usia.
2)
Terapi Validasi : mengklarifikasi perilaku lanjut usia
Lanjut usia
dengan masalah gangguan daya ingat ringan dapat dibantu dengan terapi ini.
Terapi berupa identifikasi perilaku lanjut usia dan memahami maksud dari
prilaku tersebut dan seorang pekerja sosial bisa memvalidasi dan
mendiskusikannya dengan lanjut usia. Perilaku yang timbul biasanya bingung,
mondar-mandir, gelisah, melakukan perilaku berulang, membuka baju atau celana
dan lain-lain. Terapi ini sangat individual dan seorang pekerja sosial jangan
sampai membuat lanjut usia malu dengan cara memperlakukan lanjut usia secara
tebuka di tempat umum. Misal : Eyang ngompol yaa...? didepan orang lain. Lebih
baik : Eyang bajunya basah, kita ganti dengan yang baru dan kering yaa...
3)
Rileksasi
Dr. Edmund Jacobson pada tahun 1902, dan diperbaiki oleh
Benson pada tahun 1950-an telah memperkenalkan teknik ini bagi menghadapi
tekanan yang dialami. Salah satu daripada teknik ini dikenali sebagai
“Pengenduran Otot-Otot Secara Progresif” (Progressive
Muscle Relaxation). Melalui teknik ini, kesemua 14 kumpulan otot dalam
badan ditegangkan dan dikendurkan satu persatu dan setiap pergerakkan perlu
diberi perhatian dengan sepenuhnya (Sutterley, 1977). Dengan cara memberi
tumpuan kepada penempatan otot-otot dan perbezaan ketegangan dan pengenduran,
individu dapat mengalami sensasi ketenangan seluruh tubuhnya dan pada masa yang
sama, memberi ketenangan kepada jiwanya untuk membentuk mental yang sehat.
Relaksasi dapat mengurangi perasaan tegang ” stress” atau kecemasan. Relaksasi
berupa upaya untuk memperbaiki sirkulasi darah dan mengendurkan otot dan sendi
sehingga timbul perasaan relaks. Relaksasi dapat dilakukan secara individual
atau kelompok. Latihan fisik yang dilakukan tidak perlu terlalu berat, tetapi
fokus pada gerakan otot dan sendi yang diharapkan dapat meningkatkan curah
jantung. Teknik-teknik dasar yang biasa dipergunakan antara lain :
·
Tegangkan otot-otot badan secara terpisah.
·
Tegangkan otot-otot tersebut selama 5 menit
· Lepaskan
ketegangan itu perlahan-lahan dan pada waktu yang sama katakan “Lepaskan
Keluar”.
·
Tarik nafas panjang.
· Sepanjang
menghembuskan nafas keluar, katakan “Lepaskan semua ketegangan, keluarkan”.
Tabel 1: Latihan Rileksasi Pada Kumpulan Otot-Otot Badan
KEPALA DAN MUKA |
1.
Kerutkan dahi.
2.
Tutup mata dengan kuat.
3.
Buka mulut selebar-lebarnya.
4.
Tolakkan lidah ke atas langit-langit mulut.
|
LEHER DAN TENGKUK
|
1.
Baring dan dongak kepala anda hingga ke tahap maksimum.
2.
Tundukkan kepala sehingga dagu mencapai dada anda.
3.
Sandarkan kepala ke kiri hingga telinga kiri mencapai
bahu kiri anda.
|
BAHU
|
1.
Angkat kedua-dua bahu anda hingga mencapai kedua-dua
cuping telinga.
2.
Kemudian, angkat bahu kanan saja sehingga bisa mencapai
cuping telinga kanan.
Ulang untuk
bagian kiri pula.
|
TANGAN DAN JARI
|
1.
Angkat kedua-dua tangan dan genggamkan kesemua jari
dengan ketat.
2.
Jikalau anda duduk atau berbaring, tekan tangan kanan
di permukaan tempat anda sedang menjalani latihan ini dengan sekuat hati,
kemudian lakukan latihan yang sama pada tangan kiri.
3.
Bengkokkan tangan anda di bagian siku, genggamkan
tangan dan ketatkan seluruh otot tangan. Buat pada tangan kanan dan kemudian
pada tangan kiri.
|
DADA |
1.
Tarik nafas yang panjang
2.
Ketat dan tegangkan otot-otot di bagian dada.
|
BELAKANG
|
1.
Bengkokkan belakang dengan cara menolak kedua-dua
tangan ke belakang.
2.
Bengkokkan badan ke depan supaya otot-otot di belakang
badan terasa tegang.
|
PERUT
|
1.
Ketatkan kesemua otot di bagian
perut.
2.
Tolakkan otot-otot perut keluar (kembungkan atau
buncitkan perut).
3.
Tarik ke dalam otot-otot perut.
|
PUNGGUNG, KAKI
DAN JARI KAKI
|
1.
Ketat dan kerutkan
punggung anda.
2.
Tekan tumit anda di atas permukaan tempat anda sedang
berlatih.
3.
Kerutkan semua jari
kaki ke bawah seolah-olah boleh mencapai telapak kaki anda.
4.
Kembangkan jari kaki ke atas seolah-olah boleh mencapai
lutut anda.
|
[Teknik rileksasi
otot-otot seperti yang disarankan oleh
Dr. Edmund
Jacobson dipetik oleh Adi Fahrudin (2000)
4)
Seni ( musik, tari, lukis dan film )
Terapi seni dapat berbentuk terapi musik, lukis dan puisi
bagi lanjut usia. Hobby dan kebiasaan lanjut usia seperti; mendengarkan musik,
menonton film yang disukai merupakan terapi yang cukup efektif untuk mengurangi
ketegangan – stres akibat rutinitas hidup dan keluhan penyakit. Bisa dilakukan
sendiri atau berkelompok, bisa aktif atau pasif.
•
Kegiatan musik seperti mendengarkan musik atau menyanyi
dapat mengingatkan lanjut usia pada suasana lalu yang menyenangkan. Lanjut usia
dapat mengekspresikan perasaannya dengan bernyanyi atau merespon dengan gerakan
dari alunan musik yang dimainkan.
•
Membaca puisi atau berpantun dengan tampil ke muka umum
dapat membuat lanjut usia merasa percaya diri dan berharga karena masih memiliki
kemampuan di usianya yang sudah lanjut disaat sebagiannya sudah tidak mampu
melakukan apapun.
•
Melukis, merupakan sarana mengekspresikan perasaan lanjut
usia berupa, ketakutan, sepi, emosi yang sulit diverbalisasikan. Dalam kelompok
lanjut usia dapat menceritakan maksud dari lukisan yang dibuat dan kelompok,
perawat dan atau caregiver memberikan tanggapan mengenai lukisan tersebut.
5)
Interpersonal terapi
Teknik ini
dikembangkan oleh Gerald Klerman dan Myrna Weismann dengan memakai landasan
prinsip pendekatan psikobiologik dari Adolf Meyer dan pendekatan interpersonal
theory dari Harry Stack Sullivan. Interaksi antar pribadi akan mempengaruhi
hubungan psikososial seseorang bahkan untuk seumur hidup. Pendekatan yang memfokuskan pada diri dalam
hubungan antar pribadi akan menjadi landasan utama dalam menyembuhkan orang
yang mengalami depresi. Terapi ini mengemukakan dua tujuan penting yang dianggap
dapat meringankan penderitaan, yaitu;
•
Memperbaiki self
esteem (harga diri )
•
Meningkatkan hubungan interpersonal dan kemampuan
menjalin interaksi sosial. Terapi ini dikelompokan dalam ”Short Term Psychotherapy ” karena umumnya memerlukan 12 – 16 sesi
yang dilakukan setiap minggu, biasanya berhasil baik untuk lanjut usia dengan
depresi non psikotik dan non bipolar.
6)
ADL ( Actifity of
Daily Living ) : aktivitas sehari-hari
7)
Pendekatan perilaku/behaviour
8)
Experiential confrontation (Gestalt
two-chair dialogue) : konfrontasi pengalaman menggunakan dialog dua kursi
model GESTALT)
9)
Interpretation : menapsirkan tentang satu
hal.
10)
Paradoxical intention (memberi
perhatian pada aspek-aspek yang bertentangan)
11)
Therapy exploration : terapi
untuk menggali perasaan dan masalah lanjut usia.
12)
Therapy support : Terapi berupa pemberian
dukungan dengan melibatkan potensi pendukung ( keluarga dan teman )
13)
Reflection and clarification : merefleksikan dan mengklaifikasi perilaku lanjut usia.
14)
Therapy self-disclosure (terapi untuk tujuan membuka
diri)
15)
Advice giving (pemberian nasehat/saran)
E. BIMBINGAN SOSIAL BAGI LANJUT USIA
Pada dasarnya,
bimbingan merupakan upaya terencana untuk mengoptimalkan potensi individu.
Menurut Moretensen dan Schmuller
(2007:7) bahwa bimbingan diartikan sebagai bagian dari program pendidikan dalam
membantu pencapaian seseorang dan staf pelayanan khusus melalui pengembangan
kapasitas individu.
Bimbingan sosial
adalah rangkaian kegiatan terencana, terarah, terstruktur dan sistematik untuk
membimbing dan memberikan arah kepada klien dalam meningkatkan kemampuan,
motivasi dan peranannya dalam rangka memperkuat keberfungsian sosialnya. Bimbingan
sosial dalam konteks pelayanan bagi
lanjut usia adalah “proses pelayanan yang ditujukkan kepada lanjut usia agar
mampu mengembangkan relasi sosial yang positif dan menjalankan peranan
sosialnya dalam unit pelayanan sosial lanjut usia, dan dalam lingkungan
masyarakat”.
1. Tujuan
dan Fungsi
Tujuan Bimbingan
Sosial adalah agar lanjut usia dapat;
a.
Memulihkan dan mengembangkan perilaku aktif lanjut usia
b.
Meningkatkan kemampuan menemukan dan mengatasi masalah
serta memenuhi kebutuhan secara wajar.
c.
Meningkatkan kemampuan melaksanakan peran sosial dengan
baik
d.
Merencanakan kegiatan penyelesaian masalah lanjut usia
e.
Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki
lanjut usia seoptimal mungkin.
f.
Mengenal dan menentukan tujuan, rencana hidup serta
kesulitan-kesulitan lanjut usia.
g.
Memahami dan membantu mengatasi kesulitan lanjut usia .
h.
Mendayagunakan segala kekuatan dan kemampuan lajut usia
maupun sistem sumber kesejahteraan sosial
untuk kepentingan pemecahan masalahnya.
i.
Menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari
lingkungan lanjut usia, baik dengan keluarga maupun lingkungan sosialnya.
Fungsi Bimbingan Sosial
a.
Fungsi pencegahan, yaitu mencegah timbulnya permasalahan
lanjut usia dalam berelasi dengan lingkungan sosialnya.
b.
Fungsi pengembangan, yaitu merupakan fungsi bimbingan
dalam mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki lanjut usia
dalam berelasi dengan lingkungan sosialnya.
c.
Fungsi penyesuaian, yaitu membantu lanjut usia dalam
menemukan penyesuaian diri dan perkembangannya secara optimal dalam berelasi
dengan lingkungan sosialnya.
d.
Fungsi rujukan, yaitu membantu lanjut usia, keluarga dan
atau lembaga pelayanan dalam memilih dan memantapkan jenis pelayanan yang
sesuai dengan karakteristik, permasalahan serta kebutuhan lanjut usia.
2. Sifat- sifat Bimbingan Sosial
a. Edukatif
Yaitu
bimbingan sosial yang dilakukan oleh pekerja sosial kepada lanjut usia dengan
memperhatikan pendidikan orang dewasa
b. BimbinganPengembangan
Yaitu
bimbingan sosial yang dilakukan oleh pekerja sosial dengan lebih memfokuskan
pada perkembangan optimal seluruh aspek kepribadian lanjut usia dengan
strategi/upaya pokoknya pada pemberian kemudahan perkembangan melalui rekayasa
lingkungan.
e.
Outreach (perluasan
jangkauan)
Outreach digunakan
sebagai upaya untuk lebih menjangkau lanjut usia secara keseluruhan baik
yang mengalami permasalahan maupun yang
tidak bermasalah. Dalam hal ini termasuk semua lanjut usia terkait dengan aspek
kepribadiannya dalam konteks kehidupannya, termasuk masalah, target intervensi,
setting, metode, dan lamanya waktu layanan.
3. Strategi dan
Teknik Bimbingan Sosial
Strategi pelayanan bimbingan sosial bagi
lanjut usia menggunakan :
a. Pendekatan secara individual
Pendekatan individual kepada lanjut usia dapat dilakukan
melalui beberapa bentuk bimbingan sosial, diantaranya :
1)
Pendampingan
2)
Mediasi (memfasilitasi dan menengahi)
3)
Brokering (perantara sosial)
4)
Advokasi (pembelaan dan perlindungan)
5)
Liaisoning (penghubung sosial)
6)
Konseling
b. Pendekatan secara kelompok baik dengan lanjut usia,
keluarga dan lingkungan sosialnya
Pendekatan secara kelompok kepada lanjut
usia dapat dilakukan melalui beberapa bentuk bimbingan sosial, diantaranya;
1)
Kelompok Bantu Diri (Self
Help Group), merupakan kelompok kecil yang terstruktur yang berintegrasi
secara sukarela untuk saling menolong dan berbagi pengalaman
2)
Kelompok Penyembuhan (Therapeutic
Group), merupakan kelompok terstruktur yang dibentuk untuk proses
penyembuhan bagi lanjut usia yang bermasalahan dalam relasi sosial
3)
Kelompok Konseling (Counselling
Group), merupakan kelompok yang terstruktur yang dibentuk untuk menggali,
menemukan permasalahan lanjut usia melalui pemberian motivasi, peningkatan
kemampuan dalam memecahkan masalah,
serta memberikan alternatif pemecahan masalah
4)
Kelompok Rekreasi (Recreation
Group), merupakan kelompok yang terstruktur yang dibentuk untuk
mengembangkan kreativitas dan meningkatkan semangat hidup lanjut usia agar
bahagia dalam menjalankan kehidupannya, sehingga tercipta kondisi yang nyaman,
damai dan menyenangkan bagi lanjut usia.
c. Pendekatan berbasis masyarakat
Pendekatan
berbasis masyarakat kepada lanjut usia dapat dilakukan melalui beberapa bentuk
bimbingan sosial, diantaranya :
1) Promosi sosial
yaitu
pendekatan yang dilakukan dengan cara memperkenalkan berbagai program-program
pelayanan lanjut usia kepada kelompok masyarakat maupun dunia usaha, agar
memiliki kepedulian dan berpartisipasi dalam pelaksanaan pelayanan bimbingan
sosial lanjut usia.
2)
Mediasi (perantara sosial )
Pekerja sosial
menjalin hubungan dengan berbagai sistem
sumber yang ada di masyarakat agar sistem tersebut dapat diakses oleh lanjut
usia
3)
Pemberdayaan
Pekerja sosial
melakukan upaya bagi lanjut usia potensial untuk mampu mendayagunakan potensi
diri dan sistem sumber kesejahteraan sosial sehingga mempunyai kemandirian
dalam meraih kesempatan kerja
4)
Pengembangan jaringan/kemitraan
Pekerja sosial
melakukan kemitraan dengan berbagai instansi terkait yang memiliki sumber
daya (manusia, sarana prasarana serta dana)
agar terjadi sinergi dalam pemberian pelayanan bimbingan sosial kepada lanjut
usia
5)
Penggalangan dana
Pekerja sosial
melakukan pendekatan kepada pihak-pihak penyandang dana, termasuk dunia usaha
agar tersedia dana yang dapat dimanfaatkan untuk pelaksanaan bimbingan sosial
lanjut usia
Teknik yang dilakukan dalam bimbingan sosial bagi lanjut
usia meliputi;
1)
Teknik-teknik pembelajaran, seperti : ceramah,
tanya-jawab.
2) Teknik
pengumpulan informasi, seperti wawancara, wawancara mendalam, studi dokumentasi,
diskusi, observasi, diskusi kelompok terfokus (FGD), curah pendapat (brainstrorming),
pertemuan pembahasan kasus (case
conference), tes dengan menggunakan instrumen.
3)
Teknik bermain peran (role
play), simulasi.
4)
Teknik tutorial, seperti mengarahkan
5)
Teknik konseling, termasuk didalamnya konseling individu,
konseling kelompok dan konseling keluarga.
-------------------------------
Buku Referensi :
Friedlander,
Walter A & Apte Robert Z.1982. Introduction
to Social Welfare. New Delhi : Prentice Hall of India Private Limeted.
Hutter, Mark.
1981. The Changing Family Comparative Perspectives. New York: John Wiley
& Son.
Morales, Armando
& B.W. Sheafor.1983. Social Work : A
Profession of Many Faces. Boston : Allyn and Bacon, Inc.
Pillari,
Vimala.1998. Human Behavior in the Social
Environment : The Developing Person in a Holistic Context. Kansas : Thomson
Publishing Company
Schneider, Robert
L. & Lester, Lori. 2001. Social Work
Advocacy: A New Framework for Action. United States: Brooks/Cole Publishing
Company.
Zastrow, Charles.
1982. Introduction to Social Welfare Institutions: Social Problems,
Services, and Current Issues. Illinois:
The Dorsey Press.
Zastrow,
H. Charles & Kirst-Ashman, K. Karen. 2004. Understanding Human Behavior and the Social Environment. University
of Wisconsin-Whitewater : Thomson Publishing Company
terima kasih postingannya, sangat membantu.. :)
ReplyDelete