RELASI PERTOLONGAN PEKERJAAN
SOSIAL
A.
Hakekat Relasi Pertolongan
Pekerjaan Sosial
Pada dasarnya manusia mempunyai kesadaran
untuk saling tolong menolong di antara sesamanya sehingga dapat dikatakan bahwa
menolong adalah merupakan fungsi manusia. Pada awalnya fungsi ini dapat
dilaksanakan dengan baik oleh setiap orang, namun sejalan dengan pesatnya
perkembangan jaman yang diwarnai dengan munculnya berbagai spesialisasi membuat
banyak orang tidak dapat melaksanakan fungsi pertolongan. Fungsi spesialisasi
ini selain untuk meningkatkan kualitas pertolongan juga untuk melindungi
masyarakat dari praktek pertolongan yang tidak bertanggung jawab. Fungsi
pertolongan dalam banyak hal diambil alih oleh lembaga dan profesi.
Menolong orang lain, dapat diartikan
sebagai proses untuk memungkinkan orang yang ditolong tumbuh dan berkembang ke
arah yang dipilih dan diinginkannya, untuk memecahkan masalah dan menghadapi
krisis. Jadi menolong menyangkut upaya untuk membangkitkan kesadaran orang terhadap
alternatif-alternatif dan menjajaki kesiapan untuk bertindak. Menolong orang pada dasarnya menggunakan filosofi agar mereka dapat
menolong dirinya sendiri (to help people
to help themselves).
Namun dalam kenyataannya, manusia cenderung tidak mudah menerima
pertolongan orang lain atau secara defensif orang merasa enggan menerima
pertolongan dari orang lain, dengan alasan:
1. Faktor psikologis yang bersumber pada
mekanisme pertahanan diri/ego. Meminta
tolong sering diartikan sebagai memperlihatkan kelemahan atau ketidakmampuan
diri, di samping menempatkan diri pada posisi yang lebih rendah daripada
penolongnya.
2. Pada dasarnya sukar bagi seseorang untuk
mengadakan perubahan-perubahan di dalam dirinya sendiri.
3. Pertolongan dianggap menggangu harga
diri, kebebasan dan integritas dirinya.
4. Tidaklah mudah bagi seseorang
menaruh percaya pada orang lain, terlebih pada orang baru.
5. Pada mulanya orang sukar melihat
permasalahannya secara jelas.
6. Kadang-kadang masalah nampak begitu luas,
menekan dan menyakitkan untuk dapat dibicarakan dengan orang lain.
Relasi pertolongan pekerjaan sosial
termasuk kategori relasi antar pribadi, dimana di dalamnya terjadi interaksi
sikap, perasaan dan emosi dari kedua belah pihak (the helper and the helpee). Relasi tersebut merupakan proses yang
dinamis, berkesinambungan, akumulatif dan resiprokal (timbal balik) serta
memiliki ciri yang unik.
Kesimpulannya adalah bahwa relasi
pertolongan merupakan suatu proses saling mengikatkan/melibatkan diri antara
dua orang atau lebih, yang di dalamnya mengandung ekspektasi, interaksi,
interdependensi dan resiprokal antara penolong (helper) dan yang membutuhkan pertolongan (helpee), dan melalui cara-cara
demikian pihak penolong menyediakan dan menggunakan dirinya dan
sumber-sumber tertentu untuk memberikan pelayanan dan pihak yang ditolong
menggunakan sumber-sumber tersebut untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
B.
Karakteristik Relasi
Pertolongan
Sebagai bagian dari relasi sosial antar
pribadi, maka relasi pertolongan mempunyai ciri/karakteristik yang membedakannya
dengan relasi yang lain, yaitu :
1.
Relasi
pertolongan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar penerima pertolongan. Oleh karena itu prinsip-prinsip dasar pertolongan harus:
a)
Bersifat
individualisasi/kasuistik.
b) Merupakan pernyataan perasaan yang
bertujuan, misal bertujuan untuk katarsis mental).
c)
Memerlukan keterlibatan
emosional secara terkendali.
d)
Menggunakan prinsip penerimaan/akseptansi.
e)
Bersikap tidak
menghakimi/menilai (nonjudgemental
attitude).
f)
Memberikan pengakuan atas hak
untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri (self determination).
g)
Memegang teguh kerahasiaan (confidentiality).
2.
Relasi
pertolongan hendaknya dapat mendorong dan menambah energi. Terutama energi yang bersifat psikis seperti: rasa hangat, diterima,
dukungan emosional, ketentraman, rasa aman.
3.
Relasi pertolongan secara
sosial bersifat integratif. Artinya terjadi proses saling menolong dan memberi
dalam bentuk kerjasama, keakraban, persahabatan.
4.
Relasi
pertolongan merupakan relasi yang transaksional. Artinya
dalam relasi terdapat proses saling bertukar pengalaman secara timbal balik.
5.
Relasi pertolongan merupakan
relasi yang murni, jujur dan realistik.
6. Relasi pertolongan merupakan relasi yang
didalamnya terdapat komplementaritas peranan.
Kesemua ciri/karakteristik tersebut hendaknya
dilihat secara keseluruhan dalam kesatuan, tidak secara terpisah satu dan
lainnya.
C.
Dimensi Relasi Pertolongan
Sebagaimana relasi sosial lainnya, relasi
pertolongan pekerjaan sosial memiliki dimensi yang secara kontinum dapat
dilihat sebagai berikut :
1.
Persahabatan versus
antagonistik.
2.
Kooperatif versus kompetitif.
3.
Keakraban versus kerenggangan.
4. Kejelasan versus kekaburan struktur
dan fokus.
5.
Keaktifan versus kepasifan.
6.
Saling percaya versus saling
curiga.
7.
Menerima versus menolak.
D.
Proses Relasi Pertolongan
Pekerjaan Sosial
Baik pekerja sosial maupun klien sebagai orang yang menerima
pertolongan, keduanya menjadikan relasi atau komunikasi sebagai alat utama
untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya. Dengan relasi pertolongan keduanya mempertemukan
masalah dan kebutuhan dengan keahlian profesional. Proses pertolongan terdiri
dari delapan tahap, yang tergantung dalam dua fase. Pada kenyataannya kedelapan
tahap tersebut tidak selalu dilewati semua secara berurutan dengan tertib urut,
melainkan jumlah tahapannya bisa lebih sedikit dan biasa lebih banyak, dengan
tidak selalu tertib urutan. Hal yang menentukan lengkap tidaknya dan tertib
urut tidaknya tahapan dalam proses pertolongan adalah tergantung dari hakekat
permasalahan yang dihadapi dan kemampuan profesional pekerja sosial sebagai
penolong.
Fase Pembentukan Relasi:
1.
Tahap mempersiapkan dan
memasuki relasi
Tujuan utama tahap ini adalah untuk membuka
pertemuan dengan mengurangi hambatan-hambatan semaksimal mungkin, meletakkan
dasar-dasar kepercayaan dan menciptakan suasana yang menyenangkan (condusive) bagi kelayan untuk dapat
mengungkap perasaan-perasaannya dengan bebas. Proses katarsis mental ini diperlukan untuk
mengurangi suasana ketegangan dalam diri kelayan.
Beberapa hambatan
yang dialami klien terutama bersumber dari keengganan defensif untuk memulai
suatu komunikasi pertolongan, baik yang bersumber pada norma kebudayaan yang
menganggap bahwa meminta merendahkan martabat harga diri yang dapat menimbulkan
rasa rendah diri, maupun ketidakmampuan orang untuk berkonfrontasi dengan
perasaannya sendiri. Oleh karena itu, perlu diciptakan
iklim :
a. Kesadaran akan adanya perasaan tertekan
pada diri klien.
b. Keinginan untuk berubah dari situasi saat
ini.
c. Kesadaran akan adanya potensi dan keterbatasan
relasi pertolongan.
d. Kesediaan secara sukarela untuk menerima
pekerja sosial sebagai penolongnya.
Kata persiapan
mempunyai arti bahwa relasi pertolongan tersebut profesional, direncanakan
dengan sungguh-sungguh dan dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya perlu
dibicarakan juga mengenai setting,
yaitu hal-hal yang membantu situasi dimana komunikasi dilaksanakan. Termasuk
misalnya setting ruangan, dekorasi,
posisi duduk, cahaya, privacy, cara
penampilan pekerja sosial. Pekerja sosial yang berpengalaman akan sangat
menaruh perhatian pada pengaturan setting
komunikasinya.
Hal lain yang
perlu dibicarakan adalah mengenai cara membuka relasi. Tentunya pada tahap
membuka relasi perlu diciptakan suasana informal untuk mengurangi ketegangan
baik pada diri klien maupun pada diri pekerja sosial sendiri. Pembicaraan yang bersifat “small
talk” sangat dianjurkan untuk membentuk situasi informal. Sikap santai
dengan penggunaan senyum yang hangat akan sangat membantu menciptakan suasana
akrab dan diterima. Pekerja sosial jangan menimbulkan kesan bahwa klien adalah
orang yang bermasalah, tetapi seakan-akan dilupakan bahwa klien orang yang
mempunyai masalah. Pembicaraan dapat diarahkan kepada hal-hal yang netral dan
berorientasi pada apa yang dirasakan pada saat ini. Cara penggunaan salam sebagai pembuka relasi perlu
dilakukan dengan tepat.
2.
Tahap mencari kejelasan.
Tujuan tahap ini adalah mencari kejelasan
mengenai masalah yang menyebabkan ketidakenakan pada diri klien, serta
bagaimana klien melihat permasalahannya dan siapakah sebenarnya pemilik masalah
tersebut. Pada tahap ini dianjurkan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang:
a.
Tidak menimbulkan kesan interogasi,
artinya miliki sikap praduga tak bersalah. Klien janganlah merasa dipojokkan
dan dipaksa mengungkapkan masalahnya.
b.
Menghindarkan perasaan bernafsu
untuk dalam waktu yang cepat mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya
untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu, diperlukan sikap pengendalian diri
yang baik.
c. Menghindarkan banyak bertanya,
mendiagnosa dan memberikan saran pemecahan. Pekerja sosial harus lebih banyak
mendengarkan dengan baik dan memberikan respon yang memadai terdahadap
pertanyaan-pertanyaan klien yang membuat mereka lebih enak untuk berbicara
lebih banyak.
d. Disarankan banyak menggunakan pertanyaan
“apa” dan “bagaimana”, serta menghindarkan pertanyaan “mengapa”.
Pada tahap ini
juga perlu dicari kejelasan siapa sebenarnya pemilik masalah sebagai tokoh
utamanya dan siapa-siapa yang menjadi figurnya.
3.
Tahap struktur
Tujuan tahap ini adalah untuk menetapkan
apakah relasi akan dikembangkan lebih lanjut ke arah formalisasi pertolongan
profesional atau tidak. Kalau ya, bagaimana cara-cara mencapai tujuan formal
tersebut. Sebelum kita dapat mengambil keputusan, perlu dicari
informasi-informasi dengan menggunakan pedoman pertanyaan baik yang ditujukan
kepada klien maupun kepada pekerja sosial sendiri.
Untuk pekerja sosial berkisar :
1. Apakah saya dapat bekerjasama dengan klien ini ? Kalau dapat, keterampilan apa saja yang
harus saya dimiliki dan bagaimana menerapkannya ?
2. Apakah saya cocok bekerjasama dengan klien
ini ?
3. Apakah saya akan dapat memenuhi
harapan-harapannya ?
4.
Struktur pendekatan macam apa
yang dapat saya terapkan (formal, informal atau lainnya) ?
5.
Apakah
yang saya harapkan dari klien ini ?
Pertanyaan untuk klien berkisar:
1. Apakah pekerja sosial ini dapat saya
percayai ?
2. Apakah pekerja sosial ini benar-benar
bersedia menolong saya dan bekerja sama untuk kepentingan saya ?
3.
Persoalan-persoalan apa saja
yang hendak saya perbincangkan dengannya ?
4.
Apakah saya bersedia melibatkan
lebih dalam dari yang saya inginkan?
5.
Apakah saya bersedia melibatkan
diri ke dalam persetujuan-persetujuan yang menyangkut soal-soal yang berada di
luar yang saya kehendaki ?
6.
Jika saya telah terikat
kontrak, apakah saya dapat ke luar dari kontrak tersebut bila saya menghendakinya
?
Jika pada tahap struktur kita akan membentuk
formalitas dari bentuk relasi pertolongan tersebut. Namun disadari tidak
sepenuhnya orang dapat terikat ketat dalam kontraknya. Pada tahap ini
diharapkan klien mengetahui dengan jelas posisinya, dengan lembaga apa ia
berhadapan, dengan siapa ia berhadapan dan mengapa ia berada disana. Keuntungan
dari tahap ini adalah terciptanya efektifitas dan efisiensi waktu dan biaya.
Pada satu sisi
dilakukan struktur proses, dalam arti pole
induction, yaitu memberikan status klien kepada calon klien. Sedangkan pada
sisi lainnya, dilakukan struktur formal, yang berkaitan dengan penetapan dan
pengaturan kontrak secara formal mengenai tujuan-tujuan yang akan dicapai,
target-target yang ditentukan dan tanggung jawab kedua belah pihak.
4.
Tahap relasi
Tujuan tahap ini
adalah untuk meningkatkan kedalaman relasi dan intensitas komitmen klien dalam
proses pertolongan. Kondisi relasi yang demikian sering disebut dengan rapport. Pada akhir tahap ini hendaknya
relasi sudah benar-benar mantap bagi kegiatan pertolongan selanjutnya. Tahap
ini sering ditandai dengan keadaan berdiam diri pada diri klien. Hal ini dilihat
sebagai situasi krisis, sebab keadaan diam diri merupakan hal yang misterius
dengan berbagai makna di dalamnya. Diam diri bisa menunjukkan adanya hambatan
emosional pada diri klien (seperti tersinggung), tapi dapat pula menunjukkan
hilangnya kepercayaan klien baik pada dirinya sendiri ataupun kepada pekerja
sosialnya. Diam diri juga dapat merupakan keadaan akhir dari suatu pemikiran
tertentu sebelum beralih ke pemikiran yang lainnya (jeda). Atau diam diri
merupakan keadaan dimana klien sedang mengatur kembali emosinya yang merupakan
kekuatan dalam dirinya (inner strength)
agar dapat lebih fokus dalam proses pemecahan masalah.
Fase Mendorong ke Arah Kegiatan Positif
Pada fase ini tahap-tahap pertolongan
bercirikan dimana pekerja sosial lebih banyak aktif menunjukkan perasaannya
sebagai seorang ahli/profesional. Fase ini mencakup:
1.
Tahap Penjajagan
Pada tahap ini secara menonjol pekerja
sosial aktif menunjukkan keterlibatannya dan tanggung jawabnya dalam proses
pertolongan. Pada tahap ini pekerja sosial benar-benar telah jelas menggambaran
diri klien, masalahnya dan situasi yang melingkupinya. Oleh karena itu,
pertanyaan utama yang selanjutnya adalah berkaitan dengan perubahan-perubahan
tingkah laku apa yang tepat bagi klien dan strategi intervensi macam apa yang
paling baik untuk mencapai tujuan tersebut.
Proses perumusan
tujuan tersebut dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Memelihara dan meningkatkan relasi,
sehingga tercipta kepercayaan, rasa aman dan tenteram pada diri klien.
b. Mengendalikan perasaan-perasaan baik pada
diri pekerja sosial sendiri maupun pada klien yang dapat dianggap mengganggu
jalannya komunikasi.
c. Mendorong klien untuk melakukan penjajagan
terhada masalahnya atau perasaan-perasaannya agar dapat memperluas kesadaran
dirinya.
d. Mendorong klien untuk memperjelas dan
menkongkritkan tujuan-tujuannya.
e. Mengumpulkan fakta-fakta yang dapat
membantu dalam proses pemecahan masalah.
f. Mengajarkan keterampilan-keterampilan yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan klien (mendemonstrasikan, memberi contoh,
melatih).
g. Memberikan tugas-tugas kepada klien untuk
dikerjakan sendiri, yang berupa kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki.
Pada tahap ini,
klien perlu melakukan self concept,
yaitu melihat ke luar dari dirinya untuk memperluas kesadaran diri dan
mendapatkan pemikiran-pemikiran baru yang diperlukan untuk membuat
rencana-rencana kegiatan. Terdapat kondisi kritis (critical point) pada tahap ini yang ditandai klien merasa
seakan-akan masalahnya telah selesai, sedangkan perubahan-perubahan nyata
sebagai kondisi yang diharapkan belum terlihat. Sebenarnya klien baru merasa
terbebas dari perasaan tertekan saja, dan belum sampai pada perubahan kondisi
yang dikehendaki.
Pada tahap ini
juga sering ditandai dengan perasaan transference,
yaitu menujukkan munculnya perubahan perasaan pada diri klien terhadap pekerja
sosialnya akibat intensitas relasi secara khusus. Perasaan ini muncul akibat
diproyeksikannya dengan orang lain yang mempunyai hubungan akrab dengan kesan
khusus yang mendalam, seperti orang tua, pacar, suami, istri. Keadaan serupa
dapat pula menghinggapi diri pekerja sosial dan hal tersebut dapat diantisipasi
dengan counter-transference. Ciri
lain dari tahap ini adalah munculnya perasaan pada diri pekerja sosial bahwa ia
seorang ahli (expert feeling). Dalam
kadar yang wajar, hal ini penting bagi pekerja sosial untuk membangun
kepercayaan diri pada proses pertolongan, namun bila berlebihan dikhawatirkan
dapat menggangu proses pertolongan oleh karena bisa lupa diri.
2.
Tahap Konsolidasi
Tujuan pada tahap
ini adalah untuk menetapkan alternatif pilihan dan rencana-rencana serta
penerapan keterampilan-keterampilan baru. Pekerja sosial perlu membantu klien
untuk memilih alternatif kegiatan yang nyata. Jadi diharapkan pada tahap ini
klien telah benar-benar jelas masalahnya dan bagaimana pemecahannya serta
keterampilan-keterampilan baru apa yang perlu dikuasai dan diterapkan.
3.
Tahap Perencanaan
Pada tahap ini
ditandai dengan adanya proses penyusunan rencana kegiatan yang rasional.
Termasuk di dalamnya rencana dan penetapan terminasi. Tujuan yang akan dicapai
ialah sesuatu yang merupakan kristalisasi pembicaraan sebelumnya ke dalam
rencana-rencana yang spesifik dan nyata. Proses perencanaan merupakan jalan
untuk mendesain rangkaian kegiatan guna memecahkan masalah atau memenuhi
kebutuhan-kebutuhan. Proses ini mencakup pengambilan keputusan-keputusan dan
prediksi serta penetapan pemilihan kegiatan yang semuanya disusun secara
operasional dalam rencana-rencana kerja. Suatu rencana
memerlukan formulasi penilaian-penilaian prognistik, prediktif dan
disposisional.
4.
Tahap Terminasi
Tahap ini diwujudkan sebagai konsekuensi
pertolongan profesional yang mempunyai keterbatasan waktu dan prinsip
kemandirian. Terminasi
diartikan sebagai kegiatan penghentian pertolongan atau pemutusan hubungan
kerja antara pekerja sosial dengan kliennya. Semua pembicaraan yang telah
dilakukan sebelumnya, hendaknya disimpulkan. Bilamana ada tujuan-tujuan yang
belum tercapai hendaknya dicari penyebabnya.
Akhirnya suatu
relasi pertolongan dapat merupakan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan atau
memuaskan. Tetapi sebaliknya dapat pula berupa pengalaman yang menyedihkan,
menakutkan atau ambivalensi. Pada umumnya perpisahan merupakan hal yang
mencemaskan bagi klien. Jadi persoalan terminasi berkaitan dengan masalah
emosional. Dalam hal ini pekerja sosial hendaknya pandai-pandai memanipulasi
situasi agar apapun yang terjadi menjadi menyenangkan bagi kedua belah pihak.
Istilah terminasi
seringkali diikuti dengan istilah rujukan (referal). Namun
sebenarnya tidaklah selalu. Dasar-dasar pertimbangan perlunya terminasi:
a.
Tujuan-tujuan yang disepakati
bersama telah tercapai.
b.
Oleh karena berbagai faktor
internal, klien menghendaki pertolongan dihentikan.
c.
Oleh karena berbagai faktor
eksternal, baik pekerja sosial maupun klien tidak dapat melanjutkan
pertolongan.
d.
Rujukan yang seharusnya
dijalankan, oleh karena berbagai faktor terpaksa tidak dapat dilakukan.
e.
Penyembuhan sudah merupakan
cara hidup klien dan menjadi sumber keberhasilan hidupnya.
Kriteria-kriteria bagi rujukan adalah :
a. Bila klien memerlukan pertolongan lebih
lanjut.
b. Bila klien membutuhkan sumber-sumber
tertentu yang adanya di luar jangkauan lembaga pelayanan (di tempat lain).
c. Bila dilihat adanya dampak negatif akibat
pertolongan lebih lanjut oleh pihak lain.
Dalam rujukan
perlu dipertimbangkan dan ditetapkan dengan jelas pihak-pihak yang dirujuk dan
isi rujukannya hendaknya dibuat seoperasional mungkin sebagai rekomendasi
profesional seorang pekerja sosial.
Agar terminasi
berhasil dengan baik, maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip prosedural
sebagai berikut :
a. Terminasi hendaknya dilakukan atas
kesepakatan kedua belah pihak melalui proses assessment bersama.
b. Pengalaman terminasi hendaknya mengandung
tujuan-tujuan yang spesifik dan kongkrit beserta konsekuensi-konsekuensinya.
c. Klien hendaknya benar-benar dipersiapkan
sedini mungkin untuk menghadapi terminasi.
d. Klien hendaknya didorong dan dibantu untuk
mengembangkan kemampuan-kemampuan pemecahan masalah.
e. Sistem intervensi hendaknya diberikan
dengan jalan mengkaitkan klien dalam arti kebutuhan-kebutuhannya dengan sistem
sumber yang tersedia dan kepadanya diberikan kemampuan penguasaan akses yang
baik pada sistem sumber.
f. Pekerja sosial hendaknya selalu siap dan
tetap terbuka bagi klien bila ia menemukan kesulitan lagi.
g. Pekerja sosial hendaknya mengenali
perasaan-perasaannya sendiri pada saat terminasi, agar dapat mengatasi
permasalahan emosional baik pada diri klien maupun pada diri sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Achlis, 1983, Komunikasi
dan Relasi Pertolongan Dalam Pekerjaan Sosial, Senat Mahasiswa STKS,
Bandung;
___________, 1982, Pekerjaan
Sosial Sebagai Profesi dan Praktek Pertolongan, Senat Mahasiswa STKS,
Bandung;
Barker Larry L, 1978, Communication,
Prentice Hall Inc. Englewood Cliffe. New Jersey;
Berlo David K, The
Process Of Communication An Introduction to Theory and Practice, Haot
Rinehart and Winston Inc., New York;
Biestek Felix P S J, 1957,
The Case Work Relationship, Loyola University Press, Chicago;
Brammer Lawrence M, 1979, The
Helping Relationship Procase and Skills, Prentice Hall Inc., New Jersey;
Brill Naomi I, 1978, Working
With The People The Helping Process, Lipincott Company, San Francisco;
Day Peter R, 1972, Communication
in Social Work, Pergamon Press, Oxford;
Gerald M Phillips &
Julia T. Wood, 1983, Communication and Human Relationship, MacMillan
Publishing Co.Inc., New York;
Julia T.Wood, 1995, Relational
Communication, Wodsworth Publishing Company, Belmont California USA;
Mc Quail Dennis and Sven
Windahl, 1981, Communication Models For The Study Of Mass Communications,
Longman Inc., New York;
Rogers M & F Floyd
Shoemaker, 1986, Memasyarakatkan Ide-Ide Baru (terjemahan Abdilah
Hanafi), Usaha Nasional, Surabaya;
Sheafor, Bradford W. &
Horejsi, Charles R. 2003. Tachniques and
Guidelinea for Social Work Practice. Boston: Allyn and Bacon.
Siporin Max, 1975, Introduction
to Social Work Practice, Mac Millan Publishing Company Inc., New York;
Teri Kwal Gamble &
Michael Gamble, 1987, Communication Works, Random House Inc., New York.
0 comments:
Post a Comment