Helping people to help themselves

Demak58

Friday, June 26, 2015

Relasi Pertolongan Pekerjaan Sosial




RELASI PERTOLONGAN PEKERJAAN SOSIAL



A.    Hakekat Relasi Pertolongan Pekerjaan Sosial
Pada dasarnya manusia mempunyai kesadaran untuk saling tolong menolong di antara sesamanya sehingga dapat dikatakan bahwa menolong adalah merupakan fungsi manusia. Pada awalnya fungsi ini dapat dilaksanakan dengan baik oleh setiap orang, namun sejalan dengan pesatnya perkembangan jaman yang diwarnai dengan munculnya berbagai spesialisasi membuat banyak orang tidak dapat melaksanakan fungsi pertolongan. Fungsi spesialisasi ini selain untuk meningkatkan kualitas pertolongan juga untuk melindungi masyarakat dari praktek pertolongan yang tidak bertanggung jawab. Fungsi pertolongan dalam banyak hal diambil alih oleh lembaga dan profesi.
Menolong orang lain, dapat diartikan sebagai proses untuk memungkinkan orang yang ditolong tumbuh dan berkembang ke arah yang dipilih dan diinginkannya, untuk memecahkan masalah dan menghadapi krisis. Jadi menolong menyangkut upaya untuk membangkitkan kesadaran orang terhadap alternatif-alternatif dan menjajaki kesiapan untuk bertindak. Menolong orang pada dasarnya menggunakan filosofi agar mereka dapat menolong dirinya sendiri (to help people to help themselves).
Namun dalam kenyataannya, manusia cenderung tidak mudah menerima pertolongan orang lain atau secara defensif orang merasa enggan menerima pertolongan dari orang lain, dengan alasan:
1.      Faktor psikologis yang bersumber pada mekanisme pertahanan diri/ego.  Meminta tolong sering diartikan sebagai memperlihatkan kelemahan atau ketidakmampuan diri, di samping menempatkan diri pada posisi yang lebih rendah daripada penolongnya.
2.      Pada dasarnya sukar bagi seseorang untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam dirinya sendiri.
3.      Pertolongan dianggap menggangu harga diri, kebebasan dan integritas dirinya.
4.      Tidaklah mudah bagi seseorang menaruh percaya pada orang lain, terlebih pada orang baru.
5.      Pada mulanya orang sukar melihat permasalahannya secara jelas.
6.      Kadang-kadang masalah nampak begitu luas, menekan dan menyakitkan untuk dapat dibicarakan dengan orang lain.
Relasi pertolongan pekerjaan sosial termasuk kategori relasi antar pribadi, dimana di dalamnya terjadi interaksi sikap, perasaan dan emosi dari kedua belah pihak (the helper and the helpee). Relasi tersebut merupakan proses yang dinamis, berkesinambungan, akumulatif dan resiprokal (timbal balik) serta memiliki ciri yang unik.
Kesimpulannya adalah bahwa relasi pertolongan merupakan suatu proses saling mengikatkan/melibatkan diri antara dua orang atau lebih, yang di dalamnya mengandung ekspektasi, interaksi, interdependensi dan resiprokal antara penolong (helper) dan yang membutuhkan pertolongan (helpee), dan melalui cara-cara  demikian pihak penolong menyediakan dan menggunakan dirinya dan sumber-sumber tertentu untuk memberikan pelayanan dan pihak yang ditolong menggunakan sumber-sumber tersebut untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

B.     Karakteristik Relasi Pertolongan
Sebagai bagian dari relasi sosial antar pribadi, maka relasi pertolongan mempunyai ciri/karakteristik yang membedakannya dengan relasi yang lain, yaitu :
1.      Relasi pertolongan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar penerima pertolongan. Oleh karena itu prinsip-prinsip dasar pertolongan harus:
a)      Bersifat individualisasi/kasuistik.
b)      Merupakan pernyataan perasaan yang bertujuan, misal bertujuan untuk katarsis mental).
c)      Memerlukan keterlibatan emosional secara terkendali.
d)     Menggunakan prinsip penerimaan/akseptansi.
e)      Bersikap tidak menghakimi/menilai (nonjudgemental attitude).
f)       Memberikan pengakuan atas hak untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri (self determination).
g)      Memegang teguh kerahasiaan (confidentiality).

2.      Relasi pertolongan hendaknya dapat mendorong dan menambah energi. Terutama energi yang bersifat psikis seperti: rasa hangat, diterima, dukungan emosional, ketentraman, rasa aman.
3.      Relasi pertolongan secara sosial bersifat integratif. Artinya terjadi proses saling menolong dan memberi dalam bentuk kerjasama, keakraban, persahabatan.
4.      Relasi pertolongan merupakan relasi yang transaksional. Artinya dalam relasi terdapat proses saling bertukar pengalaman secara timbal balik.
5.      Relasi pertolongan merupakan relasi yang murni, jujur dan realistik.
6.      Relasi pertolongan merupakan relasi yang didalamnya terdapat komplementaritas peranan.
Kesemua ciri/karakteristik tersebut hendaknya dilihat secara keseluruhan dalam kesatuan, tidak secara terpisah satu dan lainnya.

C.     Dimensi Relasi Pertolongan
Sebagaimana relasi sosial lainnya, relasi pertolongan pekerjaan sosial memiliki dimensi yang secara kontinum dapat dilihat sebagai berikut :
1.      Persahabatan versus antagonistik.
2.      Kooperatif versus kompetitif.
3.      Keakraban versus kerenggangan.
4.      Kejelasan versus kekaburan struktur dan fokus.
5.      Keaktifan versus kepasifan.
6.      Saling percaya versus saling curiga.
7.      Menerima versus menolak.

D.    Proses Relasi Pertolongan Pekerjaan Sosial
Baik pekerja sosial maupun klien sebagai orang yang menerima pertolongan, keduanya menjadikan relasi atau komunikasi sebagai alat utama untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya. Dengan relasi pertolongan keduanya mempertemukan masalah dan kebutuhan dengan keahlian profesional. Proses pertolongan terdiri dari delapan tahap, yang tergantung dalam dua fase. Pada kenyataannya kedelapan tahap tersebut tidak selalu dilewati semua secara berurutan dengan tertib urut, melainkan jumlah tahapannya bisa lebih sedikit dan biasa lebih banyak, dengan tidak selalu tertib urutan. Hal yang menentukan lengkap tidaknya dan tertib urut tidaknya tahapan dalam proses pertolongan adalah tergantung dari hakekat permasalahan yang dihadapi dan kemampuan profesional pekerja sosial sebagai penolong.

Fase Pembentukan Relasi:
1.      Tahap mempersiapkan dan memasuki relasi
Tujuan utama tahap ini adalah untuk membuka pertemuan dengan mengurangi hambatan-hambatan semaksimal mungkin, meletakkan dasar-dasar kepercayaan dan menciptakan suasana yang menyenangkan (condusive) bagi kelayan untuk dapat mengungkap perasaan-perasaannya dengan bebas. Proses katarsis mental ini diperlukan untuk mengurangi suasana ketegangan dalam diri kelayan.
Beberapa hambatan yang dialami klien terutama bersumber dari keengganan defensif untuk memulai suatu komunikasi pertolongan, baik yang bersumber pada norma kebudayaan yang menganggap bahwa meminta merendahkan martabat harga diri yang dapat menimbulkan rasa rendah diri, maupun ketidakmampuan orang untuk berkonfrontasi dengan perasaannya sendiri. Oleh karena itu, perlu diciptakan iklim :
a.       Kesadaran akan adanya perasaan tertekan pada diri klien.
b.      Keinginan untuk berubah dari situasi saat ini.
c.       Kesadaran akan adanya potensi dan keterbatasan relasi pertolongan.
d.      Kesediaan secara sukarela untuk menerima pekerja sosial sebagai penolongnya.
Kata persiapan mempunyai arti bahwa relasi pertolongan tersebut profesional, direncanakan dengan sungguh-sungguh dan dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya perlu dibicarakan juga mengenai setting, yaitu hal-hal yang membantu situasi dimana komunikasi dilaksanakan. Termasuk misalnya setting ruangan, dekorasi, posisi duduk, cahaya, privacy, cara penampilan pekerja sosial. Pekerja sosial yang berpengalaman akan sangat menaruh perhatian pada pengaturan setting komunikasinya.
Hal lain yang perlu dibicarakan adalah mengenai cara membuka relasi. Tentunya pada tahap membuka relasi perlu diciptakan suasana informal untuk mengurangi ketegangan baik pada diri klien maupun pada diri pekerja sosial sendiri. Pembicaraan yang bersifat “small talk” sangat dianjurkan untuk membentuk situasi informal. Sikap santai dengan penggunaan senyum yang hangat akan sangat membantu menciptakan suasana akrab dan diterima. Pekerja sosial jangan menimbulkan kesan bahwa klien adalah orang yang bermasalah, tetapi seakan-akan dilupakan bahwa klien orang yang mempunyai masalah. Pembicaraan dapat diarahkan kepada hal-hal yang netral dan berorientasi pada apa yang dirasakan pada saat ini. Cara penggunaan salam sebagai pembuka relasi perlu dilakukan dengan tepat.
2.      Tahap mencari kejelasan.
Tujuan tahap ini adalah mencari kejelasan mengenai masalah yang menyebabkan ketidakenakan pada diri klien, serta bagaimana klien melihat permasalahannya dan siapakah sebenarnya pemilik masalah tersebut. Pada tahap ini dianjurkan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang:
a.       Tidak menimbulkan kesan interogasi, artinya miliki sikap praduga tak bersalah. Klien janganlah merasa dipojokkan dan dipaksa mengungkapkan masalahnya.
b.      Menghindarkan perasaan bernafsu untuk dalam waktu yang cepat mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu, diperlukan sikap pengendalian diri yang baik.
c.       Menghindarkan banyak bertanya, mendiagnosa dan memberikan saran pemecahan. Pekerja sosial harus lebih banyak mendengarkan dengan baik dan memberikan respon yang memadai terdahadap pertanyaan-pertanyaan klien yang membuat mereka lebih enak untuk berbicara lebih banyak.
d.      Disarankan banyak menggunakan pertanyaan “apa” dan “bagaimana”, serta menghindarkan pertanyaan “mengapa”.
Pada tahap ini juga perlu dicari kejelasan siapa sebenarnya pemilik masalah sebagai tokoh utamanya dan siapa-siapa yang menjadi figurnya.
3.      Tahap struktur
Tujuan tahap ini adalah untuk menetapkan apakah relasi akan dikembangkan lebih lanjut ke arah formalisasi pertolongan profesional atau tidak. Kalau ya, bagaimana cara-cara mencapai tujuan formal tersebut. Sebelum kita dapat mengambil keputusan, perlu dicari informasi-informasi dengan menggunakan pedoman pertanyaan baik yang ditujukan kepada klien maupun kepada pekerja sosial sendiri.
Untuk pekerja sosial berkisar :
1.      Apakah saya dapat bekerjasama dengan klien ini ? Kalau dapat, keterampilan apa saja yang harus saya dimiliki dan bagaimana menerapkannya ?
2.      Apakah saya cocok bekerjasama dengan klien ini ?
3.      Apakah saya akan dapat memenuhi harapan-harapannya ?
4.      Struktur pendekatan macam apa yang dapat saya terapkan (formal, informal atau lainnya) ?
5.      Apakah yang saya harapkan dari klien ini ?
Pertanyaan untuk klien berkisar:
1.     Apakah pekerja sosial ini dapat saya percayai ?
2.     Apakah pekerja sosial ini benar-benar bersedia menolong saya dan bekerja sama untuk kepentingan saya ?
3.     Persoalan-persoalan apa saja yang hendak saya perbincangkan dengannya ?
4.     Apakah saya bersedia melibatkan lebih dalam dari yang saya inginkan?
5.     Apakah saya bersedia melibatkan diri ke dalam persetujuan-persetujuan yang menyangkut soal-soal yang berada di luar yang saya kehendaki ?
6.     Jika saya telah terikat kontrak, apakah saya dapat ke luar dari kontrak tersebut bila saya menghendakinya ?
Jika pada tahap struktur kita akan membentuk formalitas dari bentuk relasi pertolongan tersebut. Namun disadari tidak sepenuhnya orang dapat terikat ketat dalam kontraknya. Pada tahap ini diharapkan klien mengetahui dengan jelas posisinya, dengan lembaga apa ia berhadapan, dengan siapa ia berhadapan dan mengapa ia berada disana. Keuntungan dari tahap ini adalah terciptanya efektifitas dan efisiensi waktu dan biaya.
Pada satu sisi dilakukan struktur proses, dalam arti pole induction, yaitu memberikan status klien kepada calon klien. Sedangkan pada sisi lainnya, dilakukan struktur formal, yang berkaitan dengan penetapan dan pengaturan kontrak secara formal mengenai tujuan-tujuan yang akan dicapai, target-target yang ditentukan dan tanggung jawab kedua belah pihak.

4.      Tahap relasi
Tujuan tahap ini adalah untuk meningkatkan kedalaman relasi dan intensitas komitmen klien dalam proses pertolongan. Kondisi relasi yang demikian sering disebut dengan rapport. Pada akhir tahap ini hendaknya relasi sudah benar-benar mantap bagi kegiatan pertolongan selanjutnya. Tahap ini sering ditandai dengan keadaan berdiam diri pada diri klien. Hal ini dilihat sebagai situasi krisis, sebab keadaan diam diri merupakan hal yang misterius dengan berbagai makna di dalamnya. Diam diri bisa menunjukkan adanya hambatan emosional pada diri klien (seperti tersinggung), tapi dapat pula menunjukkan hilangnya kepercayaan klien baik pada dirinya sendiri ataupun kepada pekerja sosialnya. Diam diri juga dapat merupakan keadaan akhir dari suatu pemikiran tertentu sebelum beralih ke pemikiran yang lainnya (jeda). Atau diam diri merupakan keadaan dimana klien sedang mengatur kembali emosinya yang merupakan kekuatan dalam dirinya (inner strength) agar dapat lebih fokus dalam proses pemecahan masalah.

Fase Mendorong ke Arah Kegiatan Positif
Pada fase ini tahap-tahap pertolongan bercirikan dimana pekerja sosial lebih banyak aktif menunjukkan perasaannya sebagai seorang ahli/profesional. Fase ini mencakup:
1.      Tahap Penjajagan
Pada tahap ini secara menonjol pekerja sosial aktif menunjukkan keterlibatannya dan tanggung jawabnya dalam proses pertolongan. Pada tahap ini pekerja sosial benar-benar telah jelas menggambaran diri klien, masalahnya dan situasi yang melingkupinya. Oleh karena itu, pertanyaan utama yang selanjutnya adalah berkaitan dengan perubahan-perubahan tingkah laku apa yang tepat bagi klien dan strategi intervensi macam apa yang paling baik untuk mencapai tujuan tersebut.
Proses perumusan tujuan tersebut dapat dilakukan sebagai berikut :
a.       Memelihara dan meningkatkan relasi, sehingga tercipta kepercayaan, rasa aman dan tenteram pada diri klien.
b.      Mengendalikan perasaan-perasaan baik pada diri pekerja sosial sendiri maupun pada klien yang dapat dianggap mengganggu jalannya komunikasi.
c.       Mendorong klien untuk melakukan penjajagan terhada masalahnya atau perasaan-perasaannya agar dapat memperluas kesadaran dirinya.
d.      Mendorong klien untuk memperjelas dan menkongkritkan tujuan-tujuannya.
e.       Mengumpulkan fakta-fakta yang dapat membantu dalam proses pemecahan masalah.
f.       Mengajarkan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan klien (mendemonstrasikan, memberi contoh, melatih).
g.      Memberikan tugas-tugas kepada klien untuk dikerjakan sendiri, yang berupa kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.

Pada tahap ini, klien perlu melakukan self concept, yaitu melihat ke luar dari dirinya untuk memperluas kesadaran diri dan mendapatkan pemikiran-pemikiran baru yang diperlukan untuk membuat rencana-rencana kegiatan. Terdapat kondisi kritis (critical point) pada tahap ini yang ditandai klien merasa seakan-akan masalahnya telah selesai, sedangkan perubahan-perubahan nyata sebagai kondisi yang diharapkan belum terlihat. Sebenarnya klien baru merasa terbebas dari perasaan tertekan saja, dan belum sampai pada perubahan kondisi yang dikehendaki.
Pada tahap ini juga sering ditandai dengan perasaan transference, yaitu menujukkan munculnya perubahan perasaan pada diri klien terhadap pekerja sosialnya akibat intensitas relasi secara khusus. Perasaan ini muncul akibat diproyeksikannya dengan orang lain yang mempunyai hubungan akrab dengan kesan khusus yang mendalam, seperti orang tua, pacar, suami, istri. Keadaan serupa dapat pula menghinggapi diri pekerja sosial dan hal tersebut dapat diantisipasi dengan counter-transference. Ciri lain dari tahap ini adalah munculnya perasaan pada diri pekerja sosial bahwa ia seorang ahli (expert feeling). Dalam kadar yang wajar, hal ini penting bagi pekerja sosial untuk membangun kepercayaan diri pada proses pertolongan, namun bila berlebihan dikhawatirkan dapat menggangu proses pertolongan oleh karena bisa lupa diri.
2.      Tahap Konsolidasi
Tujuan pada tahap ini adalah untuk menetapkan alternatif pilihan dan rencana-rencana serta penerapan keterampilan-keterampilan baru. Pekerja sosial perlu membantu klien untuk memilih alternatif kegiatan yang nyata. Jadi diharapkan pada tahap ini klien telah benar-benar jelas masalahnya dan bagaimana pemecahannya serta keterampilan-keterampilan baru apa yang perlu dikuasai dan diterapkan.
3.      Tahap Perencanaan
Pada tahap ini ditandai dengan adanya proses penyusunan rencana kegiatan yang rasional. Termasuk di dalamnya rencana dan penetapan terminasi. Tujuan yang akan dicapai ialah sesuatu yang merupakan kristalisasi pembicaraan sebelumnya ke dalam rencana-rencana yang spesifik dan nyata. Proses perencanaan merupakan jalan untuk mendesain rangkaian kegiatan guna memecahkan masalah atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Proses ini mencakup pengambilan keputusan-keputusan dan prediksi serta penetapan pemilihan kegiatan yang semuanya disusun secara operasional dalam rencana-rencana kerja. Suatu rencana memerlukan formulasi penilaian-penilaian prognistik, prediktif dan disposisional.


4.      Tahap Terminasi
Tahap ini diwujudkan sebagai konsekuensi pertolongan profesional yang mempunyai keterbatasan waktu dan prinsip kemandirian. Terminasi diartikan sebagai kegiatan penghentian pertolongan atau pemutusan hubungan kerja antara pekerja sosial dengan kliennya. Semua pembicaraan yang telah dilakukan sebelumnya, hendaknya disimpulkan. Bilamana ada tujuan-tujuan yang belum tercapai hendaknya dicari penyebabnya.
Akhirnya suatu relasi pertolongan dapat merupakan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan atau memuaskan. Tetapi sebaliknya dapat pula berupa pengalaman yang menyedihkan, menakutkan atau ambivalensi. Pada umumnya perpisahan merupakan hal yang mencemaskan bagi klien. Jadi persoalan terminasi berkaitan dengan masalah emosional. Dalam hal ini pekerja sosial hendaknya pandai-pandai memanipulasi situasi agar apapun yang terjadi menjadi menyenangkan bagi kedua belah pihak.
Istilah terminasi seringkali diikuti dengan istilah rujukan (referal). Namun sebenarnya tidaklah selalu. Dasar-dasar pertimbangan perlunya terminasi:
a.       Tujuan-tujuan yang disepakati bersama telah tercapai.
b.      Oleh karena berbagai faktor internal, klien menghendaki pertolongan dihentikan.
c.       Oleh karena berbagai faktor eksternal, baik pekerja sosial maupun klien tidak dapat melanjutkan pertolongan.
d.      Rujukan yang seharusnya dijalankan, oleh karena berbagai faktor terpaksa tidak dapat dilakukan.
e.       Penyembuhan sudah merupakan cara hidup klien dan menjadi sumber keberhasilan hidupnya.

Kriteria-kriteria bagi rujukan adalah :
a.       Bila klien memerlukan pertolongan lebih lanjut.
b.      Bila klien membutuhkan sumber-sumber tertentu yang adanya di luar jangkauan lembaga pelayanan (di tempat lain).
c.       Bila dilihat adanya dampak negatif akibat pertolongan lebih lanjut oleh pihak lain.

Dalam rujukan perlu dipertimbangkan dan ditetapkan dengan jelas pihak-pihak yang dirujuk dan isi rujukannya hendaknya dibuat seoperasional mungkin sebagai rekomendasi profesional seorang pekerja sosial.
Agar terminasi berhasil dengan baik, maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip prosedural sebagai berikut :
a.       Terminasi hendaknya dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak melalui proses assessment bersama.
b.      Pengalaman terminasi hendaknya mengandung tujuan-tujuan yang spesifik dan kongkrit beserta konsekuensi-konsekuensinya.
c.       Klien hendaknya benar-benar dipersiapkan sedini mungkin untuk menghadapi terminasi.
d.      Klien hendaknya didorong dan dibantu untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan pemecahan masalah.
e.       Sistem intervensi hendaknya diberikan dengan jalan mengkaitkan klien dalam arti kebutuhan-kebutuhannya dengan sistem sumber yang tersedia dan kepadanya diberikan kemampuan penguasaan akses yang baik pada sistem sumber.
f.       Pekerja sosial hendaknya selalu siap dan tetap terbuka bagi klien bila ia menemukan kesulitan lagi.
g.      Pekerja sosial hendaknya mengenali perasaan-perasaannya sendiri pada saat terminasi, agar dapat mengatasi permasalahan emosional baik pada diri klien maupun pada diri sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Achlis, 1983, Komunikasi dan Relasi Pertolongan Dalam Pekerjaan Sosial, Senat Mahasiswa STKS, Bandung;
___________, 1982, Pekerjaan Sosial Sebagai Profesi dan Praktek Pertolongan, Senat Mahasiswa STKS, Bandung;
Barker Larry L, 1978, Communication, Prentice Hall Inc. Englewood Cliffe. New Jersey;
Berlo David K, The Process Of Communication An Introduction to Theory and Practice, Haot Rinehart and Winston Inc., New York;
Biestek Felix P S J, 1957, The Case Work Relationship, Loyola University Press, Chicago;
Brammer Lawrence M, 1979, The Helping Relationship Procase and Skills, Prentice Hall Inc., New Jersey;
Brill Naomi I, 1978, Working With The People The Helping Process, Lipincott Company, San Francisco;
Day Peter R, 1972, Communication in Social Work, Pergamon Press, Oxford;
Gerald M Phillips & Julia T. Wood, 1983, Communication and Human Relationship, MacMillan Publishing Co.Inc., New York;
Julia T.Wood, 1995, Relational Communication, Wodsworth Publishing Company, Belmont California USA;
Mc Quail Dennis and Sven Windahl, 1981, Communication Models For The Study Of Mass Communications, Longman Inc., New York;
Rogers M & F Floyd Shoemaker, 1986, Memasyarakatkan Ide-Ide Baru (terjemahan Abdilah Hanafi), Usaha Nasional, Surabaya;
Sheafor, Bradford W. & Horejsi, Charles R. 2003. Tachniques and Guidelinea for Social Work Practice. Boston: Allyn and Bacon.
Siporin Max, 1975, Introduction to Social Work Practice, Mac Millan Publishing Company Inc., New York;
Teri Kwal Gamble & Michael Gamble, 1987, Communication Works, Random House Inc., New York.

Share:

0 comments:

Post a Comment

ulya rahman

fabiayyi ala irobbikuma tukadziban

BTemplates.com

Powered by Blogger.

ulya rahman ,anak rantau dari kota demak