BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Intervensi
krisis merupakan suatu intervensi jangka pendek yang terfokus pada upaya
memobilisasi kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber klien untuk mengatasi suatu
situasi krisis dan memperbaiki tingkat penanggulangan, kepercayaan, dan
pemecahan masalah. Sedangkan suatu krisis timbul karena peristiwa atau masalah
yang sangat menekan dan memberikan traumatik bagi klien.
Intervensi
krisis didasarkan pada teori krisis yang berbunyi bahwa individu-individu
memiliki mekanisme-mekanisme penanggulangan dalam menghadapi suatu peristiwa
atau masalah yang menekan, namun mekanisme tersebut tidak bekerja dengan baik
atau gagal dan/atau kekuatan-kekuatan serta sumber-sumbernya tak cukup memadai
untuk menghadapi masalah tersebut, maka individu-individu tersebut dalam
situasi yang disebut krisis.
Sasaran
dari intervensi krisis yaitu untuk membahas krisis dengan strategi-strategi
penanggulangan, membantu individu-individu memperbaiki tingkat penanggulangan,
kepercayaan, dan pemecahan masalah mereka, dan memungkinkan individu-individu
untuk menarik kekuatan-kekuatan baru yang teridentifikasi, sumber-sumber, dan
mekanisme-mekanisme penanggulangan bila menghadapi penekan-penekan dimasa
depan.
Walaupun
pengalaman itu adalah suatu traumatik bagi individu, namun pengalaman tersebut
juga berlaku sebagai kesempatan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Intervensi
krisis tepat digunakan untuk antar individu, antar keluarga dan/atau antar
komunitas dalam jangka pendek yang umumnya berlangsung selama satu sampai enam
minggu. Banyak para ahli dan organisasi-organisasi sosial menciptakan berbagai
model intervensi krisis, namun dalam dunia pekerjaan sosial, kesehatan mental
dan profesi-profesi penyuluhan yang
paling diakui dan dimanfaatkan adalah model tujuh tahapan milik Roberts (1991).
Intervensi krisis merefleksikan sebuah kecenderungan yang
kontemporer terhadap teori-teori singkat, terfokus dan terstruktur berkaitan
dengan permasalahan mendesak dan praktis, yang akan dikritisi untuk menghindari
permasalahan individu jangka panjang dan isu-isu sosial yang menimbulkan
eksklusi sosial.
II.
Tujuan
Penulisan
makalah tentang intervensi krisis ini dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan
yang diharapkan serta dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah ilmu pengetahuan
dan wawasan. Secara terperinci tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui
definisi krisis.
2. Mengetahui
definisi intervensi krisis.
3. Mengetahui
sejarah intervensi krisis.
4. Mengetahui
tujuan dari intervensi krisis.
5. Mengetahui
prinsip dasar intervensi krisis.
6. Mengetahui
sifat dari intervensi krisis.
7. Mengetahui
tahap-tahap intervensi krisis.
8. Mengetahui
intervensi krisis berdasarkan perspektif pekerjaan sosial.
9. Mengetahui
peranan pekerja sosial di dalam intervensi krisis.
10. Mengetahui
persamaan dan perbedaan intervensi krisis dengan task centred.
11. Mengetahui
keunggulan dan kelemahan dari intervensi krisis.
III.
Manfaat
Adapun
manfaat yang ingin kami capai yaitu untuk memberikan informasi kepada pembaca,
utamanya bagi sesama mahasiswa yang akan dicetak menjadi pekerja sosial
profesional tentang intervensi krisis. Meskipun informasi yang kami berikan
melalui makalah ini hanya sebagian kecil dan mungkin masih mempunyai
kekurangan, tetapi setidaknya isi dari makalah ini dapat dijadikan sebagai
petunjuk untuk mengetahui tentangh intervensi itu sendiri.
IV.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan krisis?
2. Apa
yang dimaksud dengan intervensi krisis?
3. Bagaimana
sejarah intervensi krisis?
4. Apa
tujuan dari intervensi krisis?
5. Apa
prinsip dasar intervensi krisis?
6. Apa
sifat dari intervensi krisis?
7. Bagaimana
tahap-tahap intervensi krisis?
8. Bagaimana
pandangan pekerjaan sosial mengenai intervensi krisis?
9. Apa
peranan pekerja sosial dalam intervensi krisis?
10. Apa
kesamaan dan perbedaan intervensi krisis dengan
task centred?
11. Apa
keunggulan dan kelemahan dari intervensi krisis?
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Definisi
Krisis
James dan Gilliand (2001:3)
mendefinisikan krisis sebagai sebuah persepsi atau pengalaman tentang sebuah
peristiwa atau situasi yang menjadi sebuah kesulitan diluar kemampuan
diri seseorang. Suatu krisis biasanya
meliputi hilangnya kemampuan untuk mengatasi masalah serta gangguan emosi untuk
sementara waktu. Jika seorang mengatasi ancaman itu secara efektif, maka ia
dapat kembali berfungsi seperti keadaan sebelum krisis.
Sedangkan
menurut Roberts dan Yeager, krisis
merupakan suatu respons subyektif terhadap suatu peristiwa hidup yang menekan
atau traumatik atau sederet peristiwa-peristiwa lain yang dirasakan oleh
seseorang sebagai suatu hal yang berbahaya, mengancam, atau amat mengganggu,
yang tidak terpecahkan dengan menggunakan metoda-metoda penanggulangan
tradisional. Menurut Rohany Nasir
(2004), krisis juga dapat diartikan
sebagai persepsi terhadap kejadian atau pengalaman yang tidak mampu diatasi
seseorang dengan cara biasa serta mengganggu personaliti dan mengancam diri.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa krisis merupakan suatu situasi yang dirasa sulit,
berbahaya, mengancam, dan amat mengganggu seseorang sehingga membutuhkan
bantuan dari orang lain untuk memecahkannya karena kesulitan yang dialami
diluar kemampuannya.
Suatu krisis bebeda dengan suatu situasi
yang menekan. Walaupun merasa tak nyaman dan seringkali menimbulkan kecemasan yang
menggusarkan, namun individu-individu sanggup memanfaatkan mekanisme-mekanisme
penanggulangan untuk mengatasi suatu situasi yang menekan, sedangkan dalam
situasi-situasi krisis, mekanisme-mekanisme penanggulangan lama dari
individu-individu itu tidak bekerja dan individu-individu tidak sanggup
menanggulangi dan mengatasi situasi tersebut (Wright, 1991).
Sebagaimana diilustrasikan diatas bahwa
masing-masing orang bisa saja memandang suatu situasi atau peristiwa dalam
suatu cara yang berbeda, seseorang bisa saja memandangnya sebagai suatu situasi yang menekan
dan dapat mengatasi rintangan tersebut, sementara orang lain mungkin saja tidak
sanggup menyesuaikan diri atau menanggulangi situasi tersebut, oleh sebab itu
orang tersebut dapat dikatan dalam keadaan krisis. Perbedaan ini seringkali
merupakan suatu akibat dari kepribadian, sumber-sumber, dukungan-dukungan, dan
keterampilan-keterampilan penanggulangan dan pengalaman-pengalaman masa lampau
seseorang dengan penekan-penekan atau stressor-stressor. (Roberts dan Yqager,
2009).
Krisis tidak selalu buruk. Sebaliknya
krisis menunjukkan suatu titik yang
sangat penting di dalam kehidupan seseorang. Oleh kerena itu krisis dapat
memberi kesempatan dan juga bahaya. Sewaktu orang mencari cara-cara untuk
menangani krisis, mereka dapat memilih jalan kehancuran tapi mereka juga dapat
menemukan suatu cara baru yang lebih baik untuk menangani masalahnya
daripada cara yang mereka punyai sebelumnya.
Apabila orang berada dalam keadaan tidak seimbang
karena peristiwa yang terjadi, mereka dapat dikatakan mengalami suatu krisis
karena mereka mengalami suatu keadaan yang menakutkan serta sulit bagi orang
tersebut untuk mengatasi masalah yang tidak pernah dilalui sebelumnya.
Krisis
dapat merupakan suatu masalah yang terjadi pada waktu seseorang dalam keadaan
rentan (irritable) atau ketika
orang tersebut tidak siap untuk hal itu.
Sebagai contohnya adalah ketika seseorang biasanya bisa mengatasi masalah
saluran air di rumah yang tersumbat tanpa
kesulitan. Tetapi jika hal ini terjadi ketika dia sakit, maka dia merasa
tidak berdaya untuk melakukannya. Ini terjadi apabila mekanisme normal dari
seseorang untuk mengatasi masalah tidak berfungsi dengan baik, atau ketika
orang itu tidak mendapat bantuan dari orang lain yang ia perlukan. Krisis
menyebabkan seseorang mengalami peningkatan anxieti juga ketegangan dan seseorang
itu tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Oleh sebab itu, suatu
krisis diawali atau diprakarsai melalui suatu kombinasi atau gabungan dari tiga
faktor yang saling-terkait, yakni:
1.
Suatu peristiwa yang menekan atau
berbahaya.
2. Persepsi individu tentang peristiwa tersebut.
3. Kesanggupan
dari mekanisme-mekanisme dan sumber-sumber penanggulangan individu untuk
mengatasi peristiwa tersebut (Roberts, 2005).
Sedangkan jenis-jenis krisis
adalah sebagai berikut :
1.
Krisis yang tidak
disengaja atau situasional
Krisis ini
terjadi terutama saat ada ancaman yang datang tiba-tiba, kejadian yang sangat mengganggu atau datangnya suatu bencana
secara tak terduga, seperti
a.
Kematian orang yang
kita cintai
b.
Diketahuinya suatu
penyakit yang serius
c.
Pengalaman akan
perkosaan atau penganiayaan
d.
Kehamilan diluar
pernikahan
e.
Gangguan sosial seperti
perang atau depresi
f.
Ekonomi menurun
g.
Kehilangan pekerjaan
atau tabungan
h.
Kehilangan kehormatan
dan status
2. Krisis
Developmental
Jenis
krisis yang kedua, adalah
krisis yang terjadi seiring dengan
perkembangan normal seseorang dalam kehidupannya. Semua krisis
developmental menuntut pendekatan-pendekatan baru supaya orang dapat menghadapi
dan memecahkan masalah. Krisis developmental seperti:
a.
Waktu seseorang mulai
bersekolah.
b.
Masuk ke pengajian
tinggi.
c.
Menyesuaikan diri
dengan perkahwinan dan perananya sebagai orang tua.
d.
Menghadapi kritikan.
e.
Menghadapi persaraan.
f.
Kesehatan yang menurun.
g.
Menerima kematian
sahabat-sahabatnya.
3.
Krisis Eksistensial
Mempunyai lapisan pengertian kedua krisis di
atas. Ada saatnya dalam hidup dimana kita dihadapkan
dengan kenyataan yang mengganggu, terutama tentang diri kita sendiri seperti
dalam keadaan ini, seperti:
a.
Saya seorang yang
gagal.
b. Saya
hampir lulus, tetapi saya belum ada dapat bayangkan apa yang akan saya lakukan
nantinya.
c.
Saya tidak akan pernah
sukses dalam kerjaya saya.
d.
Sekarang saya adalah
janda -- saya sendirian lagi.
e.
Hidupku tidak mempunyai
tujuan.
f.
Pernikahanku berakhir
dengan perceraian.
g.
Penyakit saya tidak
dapat disembuhkan.
h.
Saya tidak mempunyai
sesuatu untuk saya percayai.
i.
Rumah dan harta saya
hilang ditelan api.
j. Saya
terlalu tua untuk meraih tujuan hidup saya.
Menurut Robert, karakteristik dari
krisis sebagai berikut:
1.
Merasakan suatu
peristiwa yang mengendap sebagai hal yang penuh makna dan mengancam.
2. Kelihatan
tak-sanggup memodifikasi atau mengurangi dampak dari peristiwa-peristiwa yang
menekan dengan metoda-metoda penanggulangan tradisional.
3. Mengalami
meningkatnya rasa takut, ketegangan dan/atau kebingungan.
4. Memperlihatkan
tingginya tingkat rasa tak nyaman subyektif.
5. Berjalan
dengan cepat sampai ke suatu keadaan krisis yang aktif – suatu keadaan ketaksetimbangan.
II.
Definisi
Intervensi Krisis
Intervensi krisis
adalah metode
pemberian bantuan terhadap mereka yang tertimpa krisis, di mana masalah yang
membutuhkan penanganan yang cepat dapat segera diselesaikan dan keseimbangan
psikis yang dipulihkan. Intervensi krisis merupakan suatu intervensi ringkas
yang dirancangkan dan khususnya digunakan untuk membantu individu-individu,
keluarga-keluarga dan/atau komunitas-komunitas untuk mengatasi suatu krisis
yang dirasakan dan memperbaiki tingkatan penanggulangannya. Suatu krisis adalah
suatu istilah subyektif, khususnya dimana krisis dari satu orang akan merupakan
tantangan dari orang lain.
Menurut
Everly & Mitchell, intervensi krisis merupakan usaha membantu klien yang
mengalami kecemasan psikologi untuk kembali ke tahap fungsi penyesuaiannya dan
mencegah atau mengurangi kesan negatif trauma psikologi. Tujuan dari intervensi
krisis ini adalah untuk membantu individu yang mengalami krisis, mencegah
gangguan mental atau tingkah laku yang tidak sesuai, menyelesaikan krisis
dengan cara menukar persepsi ancaman atau bahaya agar dapat memulihkan fungsi
sosial klien sedia kala.
Sedangkan
menurut Robert, intervensi krisis mencakup membentuk
sebuah coping mechanism yang baru sebagai bagian pengumpulan fakta klien,
memobilisasi sumber-sumber daya yang mendukung,
mengurangi keberlangsungan pengaruh dan emosi yang tidak
menyenangkan, memikirkan
kejadian dan dampak buruknya serta mengintregasikannya ke dalam narasi
kehidupan personal klien.
Intervensi krisis berasumsi bahwa kita hidup dalam situasi yang
teratur, mampu mengatasi perubahan dalam kehidupan kita. Krisis mengganggu
lingkungan yang teratur dan memberikan sebuah kesempatan pada orang-orang untuk
mengembangkan ketrampilan dalam menangani permasalahan atau risiko yang mungkin akan mengalami kegagalan, serta kapasitas kita untuk
mengatur kehidupan yang mungkin berubah menjadi buruk.
Intervensi krisis pada tujuan awalnya mencakup rasa aman
orang-orang dan kemudian prakteknya akan membentuk kekuatan orang-orang.
Intervensi
krisis dapat memberikan suatu kesempatan bagi pertumbuhan dan perkembangan
pribadi dengan cara membangkitkan kekuatan-kekuatan lama, sumber-sumber dan
keterampilan-keterampilan penanggulangan dari individu. Pada waktu yang sama, mendorong
perkembangan kekuatan-kekuatan baru, sumber-sumber dan
keterampilan-keterampilan penanggulangan yang baru semuanya yang dapat
dimanfaatkan ketika menghadapi suatu peristiwa yang menekan atau berbahaya di
masa depan. Menurut Roberts, sasaran akhir intervensi krisis adalah menolong
klien untuk membangun kembali kemampuan-kemampuan penanggulangan dan pemecahan
masalah seraya menolong mereka untuk mengambil langkah-langkah konkrit ke arah
upaya mengelola perasaan-perasaan mereka dan mengembangkan suatu rencana aksi.
III.
Sejarah
Intervensi Krisis
Intervensi
krisis sebagai suatu teori dan metode formal terutama sekali dikembangkan oleh para psychiatrist
Amerika pada tahun 1940-an dan 1950an, khususnya melalui karya-karya Eric
Lindemann dan Gerald Caplan. Lindemann (1944) mulai mengembangkan suatu teori
krisis yang didasarkan atas penelitiannya terhadap reaksi-reaksi dan
proses-proses kedukaan dari orang-orang yang yang selamat atau masih hidup dan
keluarga serta sahabat-sahabat yang kehilangan orang-orang yang mereka kasihi
dalam kebakaran di klub malam Coconut Grove di Boston, Massachusetts pada
tanggal 28 November 1942, di mana 493 orang tewas dan 101 korban luka. Itu
adalah kebakaran bangunan terbesar dalam sejarah AS.
Setelah
menyelesaikan studi rintisannya, Lindemann bekerja dengan Gerald Caplan
mendirikan program kesehatan mental di communitywide Cambridge, Massachusetts
yang dikenal sebagai Proyek Wellesley. Mereka bekerja pada awalnya dengan
individu yang telah menderita kejadian traumatis seperti kematian mendadak atau
kelahiran anak prematur. Mereka
mefokuskan bekerja dengan wanita yang sedang dalam kondisi duka karena kematian
bayi atau kelahiran bayi dengan kelainan atau kecacatan yang kemungkinan besar
dipengaruhi oleh ledakan bayi yang dimulai pada akhir 1940-an, setelah Perang
Dunia II telah berakhir. Jutaan perempuan hamil dan beberapa diantaranya
memiliki komplikasi kehamilan. Para dokter saat itu sedang bereksperimen dengan
obat baru, yaitu thalidomide, yang berfungsi untuk mencegah penyakit morning
sickness. Sayangnya, obat ini justru yang menyebabkan kecacatan lahir dan
komplikasi lainnya para wanita yang mempunyai bayi yang cacat lahir membutuhkan
cara untuk mengatasi trauma mereka.
Caplan, salah seorang pakar teori,
memperluas karya Lindemann dan menghubungkan intervensi krisis dengan
konsep-konsep yang digunakan dalam teori sistem-sistem sosial, misalnya
homeostasis, keadaan mantap, dan ketidakseimbangan. Fokus Caplan pada psikiatri
preventif, di mana intervensi awal diberikan untuk mendorong pertumbuhan
positif dan meminimalkan kemungkinan gangguan psikologis, yang menyebabkan
penekanan pada konsultasi kesehatan mental (Slaikeu, 1990, hal. 7). Pada saat
itu, banyak teori intervensi krisis yang muncul dari Proyek Wellesley.
Lydia
Rapoport (1962, 1967), seorang praktisi pekerjaan sosial, selanjutnya menyusun
karya teori dari Caplan (1961) dengan memanfaatkan sistem-sistem sosial
terminologi teori, dan mengakui bahwa suatu krisis merupakan suatu gangguan
terhadap keadaan mantap dari individu. Dia berargumentasi bahwa ada tiga faktor
yang menyebabkan krisis, yaitu:
1. Suatu
peristiwa berbahaya.
2. Suatu
ancaman terhadap sasaran-sasaran hidup.
3. Ketidaksanggupan
untuk menanggapi mekanisme-mekanisme penanggulangn yang cukup memadai (Roberts,
2005).
Oleh
karena itu, intervensi krisis memerlukan suatu fokus pada upaya dengan cepat
mengembalikan individu tersebut ke suatu keadaan mantap atau homeostasis.
Pada
perkembangannya pada masa itu, terdapat kontroversi di bidang pusat intervensi
krisis terhadap paraprofessional. Beberapa profesional mengusulkan
bahwa hanya mereka yang diberi gelar master yang harus diizinkan untuk
memberikan layanan kepada mereka dalam krisis. Langkah seperti itu dapat
memiliki dampak negatif pada masyarakat miskin yang tidak mampu membayar biaya
dari tingkat keahlian, namun para pekerja sukarela tampaknya penting
memikirkannya, terutama selama masa krisis ekonomi. Maklum, politik dan mungkin
kecemburuan profesional dan kekhawatiran dalam oposisi terhadap konseling
paraprofessional. Tidak diragukan lagi, banyak klien yang akan membutuhkan
pengobatan jika para pekerja dilarang berlatih intervensi krisis.
Banyak terapis
profesional tidak menyadari dasar sejarah intervensi krisis, yang didasarkan
jasa paraprofessional selama periode Proyek Wellesley. Meskipun intervensi
krisis digunakan di kantor-kantor kebanyakan pria kesehatan, tidak semua
pekerja kesehatan mental telah menerima pelatihan khusus lapangan. Hal ini
sering dimasukkan dalam program lain di sekolah pascasarjana dan perguruan
tinggi lainnya konseling persiapan. Oleh karena itu, mahasiswa harus memberikan
intervensi krisis berdasarkan interpretasi mereka tentang bagaimana untuk
mempersingkat proses terapi tradisional. Karena intervensi krisis tidak sering
ditekankan dalam konseling tradisional dan psikologi sekolah pascasarjana,
lembaga nirlaba yang menyediakan pelatihan khusus dalam intervensi krisis untuk
memastikan bahwa relawan non-profesional dapat bekerja secara efektif dengan
klien.
Di satu sisi tidak bisa dikatakan bahwa
model tradisional tidak memiliki pengaruh pada pekerjaan krisis. Bahkan,
masing-masing pendekatan konseling tradisional telah berkontribusi pada bidang
intervensi krisis. Hal ini tampaknya wajar mengingat bahwa pendiri intervensi
krisis dilatih dalam model itu sendiri.
Para pakar teori dan praktisi dalam
pekerjaan sosial dan profesi-profesi kesehatan mental terus berlanjut untuk
memperhatikan model intervensi krisis. Tulisan-tulisan dan penelitian
intervensi krisis yang bertalian dengan profesi pekerjaan sosial tersusun pada
karya-karya Albert Roberts, yaitu seorang Profesor Pengadilan Pidana di
Universitas Rutgers, yang mengembangkan model intervensi krisis.
Teori intervensi krisis di jaman modern
ini masih bisa memanfaatkan terminologi istilah-istilah sosial, tetapi mengakui bahwa intervensi krisis bukan
hanya mengembalikan seseorang ke suatu keadaan pra-ada (homeostasis), melainkan
juga agaknya melibatkan upaya memperbaiki penanggualangan, kepercayaan,
pemecahan masalah, kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber untuk memaksimalkan
individu dalam mengatasi tekanan-tekanan.
IV. Tujuan Intervensi
Krisis
Intervensi
krisis yang dilakukan pasti memeliki tujuan tertentu, tujuan tersebut adalah:
1. Secara klasik bertujuan untuk
memutus serangkaian peristiwa yang mengarah pada gangguan kenormalan
keberfungsian orang.
2. Untuk mengembalikan individu ke
tingkat fungsi sebelum krisis.
3. Untuk mendukung/menyokong
metoda-metoda pelanggan yang ada atau menolong individu-individu membangun
kembali kemampuan-kemampuan penanggulangan dan pemecahan masalah seraya
menolong mereka untuk mengambil langkah-langkah konkret ke arah upaya mengelola
perasaan-perasaan mereka dan mengembangkan suatu rencana aksi.
4. Dapat memberikan suatu kesempatan
bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi dengan cara membangkitkan
kekuatan-kekuatan lama, sumber-sumber dan keterampilan-keterampilan
penanggulangan dari individu dan, pada waktu yang sama, mendorong perkembangan
kekuatan-kekuatan baru, sumber-sumber dan keterampilan-keterampilan
penanggulangan yang baru semuanya yang dapat dimanfaatkan ketika menghadapi
suatu peristiwa yang menekan atau berbahaya di masa depan
V.
Prinsip
Dasar Intervensi Krisis
Orang mengalami traumatik biasanya dalam penanganan intervensi cenderung
lebih singkat (waktunya singkat). Dalam penanganan ini biasanya hanya
membutuhkan waktu sekitar 6-10 minggu. Intervensi
krisis adalah salah satu tindakan yang berorientasi terfokus, dengan
target untuk intervensi yang
khusus untuk hal yang berbahaya, situasional, atau masalah yang diendapkan pada
keadaan krisis.
Intervensi krisis adalah waktu yang
terbatas dan tujuannya adalah untuk membantu klien memobilisasi dukungan yang
diperlukan, sumberdaya dan memberikan referensi terkait ketrampilan -ketrampilan
yang harus dilakukan. Dengan seperti itu setidaknya bisa menyelesaikan atau
meminimalkan ketidak seimbangan yang dialami oleh klien.
Pekerja sosial dalam
melakukan intervensi krisis
harus memiliki berbagai pegetahuan dalam mengatur strategi yang tepat, agar
dalam menghadapi masalah seperti traumatik,
penganiayaan dan lainnya dapat mengasesmen dengan tepat. Sebuah
alternatif-alternatif harus dimunculkan untuk mengatasi hal tersebut. Nantinya
agar tidak terjadi kesalahan dan tentunya bisa tepat waktu dalam mencapai
tujuan perawatan/penanganan.
Misalnya, krisis intervensi dengan
korban kekerasan keluarga memerlukan pemahaman pada dinamika dan siklus
pemukulan dan penganiayaan, jaringan dengan lembaga masyarakat diperlukan dan
juga pengetahuan mengenai hukum yang ada sangat diperlukan bagi pemahaman
klien. Demikian pula, pekerja sosial harus memahami tentang pengaturan rumah
sakit, istilah medis, dan lainnya untuk pendukung ketika si klien dirawat di
rumah sakit. Keragaman situasi krisis dan
peristiwa adalah modal dasar dan ketrampilan intervensi krisis yang harus dilengkapi dengan pendidikan profesional lanjutan dan
pengalaman dengan jenis trauma yang dihadapi dalam praktek secara umum.
Karakteristik lain dari model
intervensi krisis adalah penggunaan tugas sebagai upaya untuk perubahan
primer. Dasar kebutuhan layanan seperti keamanan darurat, kebutuhan medis,
makanan, pakaian, dan tempat tinggal adalah yang pertama dalam intervensi
krisis. Dan juga mobilitas sumberdaya yang dibutuhkan mungkin memerlukan banyak
aktifitas langsung oleh pekerja sosial.
Secara
rinci, prinsip dasar dari intervensi krisis adalah sebagai berikut:
1. Tujuan intervensi krisis
adalah mengembalikan individu ke tingkat fungsi sebelum krisis.
2. Penekanan intervensi ini
adalah memperkuat dan mendukung aspek-aspek kesehatan dari fungsi individu.
3. Dalam intervensi krisis,
pendekatan pemecahan masalah digunakan secara sistematis (serupa dengan proses
keperawatan), yang meliputi:
a. Mengkaji persepsi individu
terhadap masalah, serta mengkaji kelebihan dan kekurangan sistem pendukung
individu dan keluarga.
b. Merencanakan hasil
yang spesifik dan tujuan yang didasarkan pada prioritas.
c. Memberikan penanganan
langsung (misal: menyediakan rumah singgah bila klien diusir dari rumah, merujuk
klien ke ”rumah perlindungan” bila terjadi penganiyaan oleh suami atau istri).
d. Mengevaluasi hasil
dari intervensi.
4. Hierarki Maslow. Kerangka
kerja Hierarki Maslow tentang kebutuhan dapat membantu menentukan prioritas
intervensi, meliputi:
a. Sumber daya fisik
diperlukan untuk bertahan hidup (misal: makanan, rumah singgah, keselamatan).
b. Sumber daya sosial
diperlukan untuk mendapatkan kembali rasa memiliki (misal: dukungan keluarga,
jaringan kerja sosial, dan dukungan komunitas).
c. Sumber daya psikologis
diperlukan untuk mendapatkan kembali harga diri (misal: penguatan yang positif
dan pencapaian tujuan).
5. Petugas intervensi krisis.
Peran petugas intervensi krisis mencakup berbagai fungsi seperti berikut ini:
a. Membentuk
hubungan dan mengomunikasikan harapan serta optimisme.
b. Melaksanakan
peran yang aktif dan mengarahkan, bila perlu.
c. Memberikan anjuran dan
alternatif (missal: membuat rujukan ke lembaga yang tepat, seperti lembaga
kesejahteraan anak atau klinik medis).
d.
Membantu klien memilih alternatif.
e. Bekerja sama dengan
profesional lain untuk mendapatkan layanan dan sumber daya yang diperlukan
klien.
VI. Sifat Intervensi Krisis
Sifat dari pendekatan intervensi
krisis adalah penanganan yang harus cepat dapat segera diselesaikan dan
keseimbangan psikis yang dipulihkan dalam pemberian bantuan terhadap mereka
yang tertimpa krisis yaitu seperti individu – individu, keluarga – keluarga
dan/atau komunitas – komunitas dalam jangka pendek pada sifat dasarnya dan
berakhir hanya antara satu sampai enam minggu.
VII.
Tahap-tahap
Intervensi Krisis
Menurut Robert (1991;25), intervensi krisis terdiri
dari tujuh tahap. Tahapan-tahapan dalam intervensi krisis sebagai berikut:
Tahap 1: adalah merencanakan dan melakukan penilaian krisis
dan biopsikososial
Tahap pertama melakukan penilaian biopsikososial
dengan klien tentang kesehatan klien, baik mental dan fisik, serta sosial
dieksplorasi. Kesehatan klien dinilai dengan menjelajahi obat diambil atau
dibutuhkan (yaitu, over-the-counter obat, obat resep), setiap kebutuhan medis,
penggunaan saat ini obat-obatan atau alkohol (termasuk nama obat yang digunakan,
lalu digunakan dan jumlah yang digunakan), atau penarikan gejala dari zat.
Langkah-langkah mematikan termasuk di mana pekerja sosial menilai atas segala
kerusakan atau bahaya ditujukan ke diri sendiri atau orang lain, dan setiap
sejarah masa lalu merugikan diri sendiri. Jika klien menyatakan pikiran untuk
bunuh diri, pekerja sosial harus menanyakan tentang rencana bunuh diri klien
untuk menentukan sejauh mana klien telah menyiapkan rencana untuk melaksanakan.
Jika pada titik tertentu klien tampaknya berada dalam bahaya merugikan diri
mereka sendiri, telah dirugikan oleh orang lain atau membutuhkan perhatian medis,
pekerja sosial harus menghubungi layanan darurat dan / atau polisi untuk
memastikan klien aman. Pekerja sosial harus menanyakan tentang mendukung klien
sosial dan lingkungan dan sumber daya, khususnya sebagai pekerja sosial dan
klien bisa memanfaatkan ini mendukung dan sumber daya ketika menerapkan rencana
intervensi (Roberts, 2005; Eaton dan Roberts, 2009). Tahap ini sering dilakukan
dalam hubungannya dengan tahap 2.
Tahap 2: membuat laporan dan dengan cepat
menetapkan hubungan.
Tahap ini sering dilakukan dalam hubungannya dengan
tahap 1. Pekerja sosial dapat memulai kontak pertama dengan klien. Pekerja
sosial harus cepat membangun hubungan dengan klien dalam rangka untuk
mengumpulkan informasi dan bekerja untuk mengatasi situasi krisis. Pekerja
sosial harus memanfaatkan pendekatan orang-berpusat (Rogers, 1957) di mana
mereka menunjukkan keaslian hal bersyarat, positif dan empati dengan klien.
Eaton dan Roberts (2009) menekankan pentingnya pertemuan klien pekerja sosial
di mana mereka saat menjaga penampilan tenang dan dalam-kendali.Sebagai contoh,
jika klien menyatakan bahwa dia mendengar suara ibunya sudah meninggal, pekerja
sosial seharusnya tidak menanyakan pernyataan ini, melainkan, memungkinkan
klien untuk terus mendiskusikan pikiran, perasaan dan pengalaman saat
mendengarkan penuh perhatian.
Tahap 3: Mengidentifikasikan dimensi-dimensi dari
masalah-masalah yang ada sekarang.
Sambil terus membangun hubungan dengan klien,
pekerja sosial harus mulai mengumpulkan informasi tentang situasi krisis dan
penyebab masalah. Dalam mengumpulkan
informasi ini, pekerja sosial harus menggunakan pertanyaan terbuka yang memungkinkan
klien untuk menguraikan masalah dan penyebab masalah tersebut, dan sepenuhnya
mengungkapkannya atau pengalaman dan cerita.
Tahap 4. Menjelajahi perasaan-perasaan dan
emosi-emosi.
Tahap ini sering digunakan dalam hubungannya dengan
tahap 3 dimana pekerja sosial menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka dan
keterampilan mendengarkan aktif ketika memunculkan dari klien menyajikan
masalah dan penyebab masalah. Sebagai klien adalah menceritakan atau kisahnya,
pekerja sosial harus menganggap dan empati, dan harus mengakui dan memvalidasi
perasaan klien saat ini dan emosi. Mendengarkan secara aktif oleh pekerja
sosial akan mencakup mendorong dan mengakui pernyataan, dan pernyataan reflektif,
di mana pekerja sosial mencerminkan kembali ke klien semua atau aspek apa yang klien
baru saja mengatakan dalam upaya untuk mendorong klien untuk membahas masalah ini
lebih lanjut serta menjamin pekerja sosial benar menafsirkan pernyataan klien.
Sebagai
contoh:
Klien : “Saya tidak tahu
bagaimana saya bisa terus seperti ini.”
Pekerja
sosial : “Anda kualahan. Sesuatu
harus berubah.”
Pekerja sosial dapat mencerminkan kembali perasaan
dan emosi yang tersirat dalam pernyataan dalam upaya untuk mendukung klien dan
mendorong dia atau dia untuk melanjutkan diskusi dengan pekerja sosial.
Sebagai
contoh:
Klien : “Saya berharap memiliki
seseorang untuk diajak bicara. Tidak ada orang yang memahami apa yang
saya alami.”
Pekerja sosial :
“Anda merasa sangat kesepian sekarang.”
Tahap ini sangat penting, sebagai klien perlu merasa
bahwa pengalaman, perasaan dan emosi mereka
sedang diakui dan didukung.
Tahap 5: Membangkitkan dan menjelajahi
alternatif-alternatif.
Sementara tahap 3 memunculkan masalah klien, tahap 5
mulai merumuskan alternatif untuk masalah ini dan mengidentifikasi baru atau
sebelumnya untuk menangani masalah ini. Pekerja sosial dan klien untuk bekerja
sama untuk mengidentifikasi mengubah pribumi dan mekanisme koping yang dapat
meringankan masalah yang diajukan atau isu. Pekerja sosial dapat memulai proses
ini dengan mengajukan solusi yang berfokus pada klien pertanyaan dalam upaya
untuk membawa kekuatan klien.
Dalam proses ini, pekerja sosial dan klien dapat
mulai membangun cara-cara alternatif untuk mengatasi masalah menyajikan
sementara memastikan pekerja sosial member perhatian pada konsekuensi dan
pikiran klien dan perasaan tentang setiap alternatif.Meskipun ini harus sebuah
proses kolaboratif, mungkin ada. situasi di mana pekerja sosial dapat
memberikan beberapa saran sebagai pilihan bagi klien untuk mempertimbangkan (Roberts,
2005). Akan ada situasi di mana klien tidak dapat membuat keputusan mengenai
alternatif, misalnya, ketika klien memerlukan rawat inap karena kondisi
kesehatan saat ini mental atau yang ditahan di tahanan polisi karena ancaman atau
rencana untuk melarang orang lain.
Tahap 6: melaksanakan rencana aksi.
Sekali alternatif untuk masalah yang diajukan
diidentifikasi, pekerja sosial dan klien dapat mulai melaksanakan rencana aksi.
Ini adalah asumsi bahwa klien adalah mental dan fisik mampu terlibat dalam
rencana tersebut Untuk contoh seperti yang sisebut di atas, jika klien
memerlukan rawat inap segera, Pekerja sosial harus melaksanakan rencana intervensi
krisis tanpa melakukan mitra kolaboratif dalam proses Pada tahap ini, sehingga pekerja
sosial dan klien mengidentifikasi rencana aksi (atau langkah-langkah) yang disepakati
dilaksanakan. dalam rangka mengatasi situasi krisis presentasi ini bias mengidentifikasi
orang atau lembaga dari mana klien akan terus melakukan pelayanan atau
mengidentifikasi mekanisme koping bahwa klien adalah untuk menerapkan. Rencana tindakan
harus didokumentasikan format yang paling tepat untuk klien dan salinan dari
rencana yang diberikan untuk kedua pekerja sosial dan klien.
Tahap 7. Menindak-lanjuti rencana dan kesepakatan
Pekerja sosial harus menindaklanjuti dengan klien
setelah intervensi krisis awal untuk menentukan status rencana tindakan dan
untuk memastikan situasi krisis ini diselesaikan atau ditangani (Eaton dan
Roberts, 2009). Sesi tindak lanjut dapat terjadi melalui telepon atau melalui
sesi tatap muka.
VIII.
Intervensi
Krisis berdasarkan Perspekstif Pekerjaan Sosial
Tugas utama profesi
pekerja sosial adalah membantu individu, kelompok, dan masyarakat untuk
berfungsi sosial. Keberfungsian sosial dipahami sebagai sebuah kondisi dimana
individu,kelompok dan masyarakat puas dengan dirinya sendiri, puas dengan
peran-peran dalam kehidupannya dan puas dengan hubungnnya dengan orang lain (lihat
misalnya dalam Thakeray, Faley & Skidmore, 1994). Segitiga keberfungsian
sosial inilah yang melandasi praktek pekerjaan sosial dalam berbagai konteks
intervensi.
Sebagai contoh, dalam
perspektif ini: situasi bencana alam dan sosial dipandang sebagai situasi
dimana individu, kelompok, dan masyarakat mengalami rawan atau mal adaptif
keberfungsiaan sosial. Dimana suatu sistem atau populasi diperkirakan tidak
mampu memanfaatkan sumber-sumber
personal, interpersonal, dan kelembagaan ketika menghadapi kerusakan fisik,
emosional dan sosial secara tiba tiba. Dititik inilah, praktek pekerjaan sosial
berfungsi untuk mengembalikan kemampuan individu, kelompok, dan masyarakat agar
kembali mampu mengakses sumber daya personal, interpersonal, dan sosial dalam mengatasi
atau mengurangi masalah yang terkait dengan kehilangan kemampuan fisik
(kecacatan), psikis (trauma), dan/atau sosial (ketunaan).
Untuk mengembalikan
keberfungsian sosial inilah, intervensi pekerjaan sosial memiliki ke khasannya.
Jika intervensi psikolog lebih berfokus pada masalah kejiwaan atau profesi
medis menitik beratkan pada aspek kesehatan fisik, maka pekerjaan sosial
berfokus pada aspek biopsikososial. Artinya intervensi pekerjaan sosial akan dilandasi
kerangka pemikiran yang menempatkan kompleksitas masalah klien dalam hubungan
timbal baliknya dengan lingkungannya. Sistem manusia dalam lingkungan atau yang lebih dikenal sebagai person
in environment (PIE) ini menjadi suatu metode untuk menjelaskan,
mengklasifikasikan masalah yang umum akan dilayani pekerjaan sosial (James M
Karls, 2008). Bagi pekerja sosial PIE dapat dianalogikan dengan DSM (Diagnostic
and StatisticalManual IV-TR) bagi psikiatri atau ICDM (Internasional
Classification of Diseases) untuk kedokteran umum. PIE membantu pekerja
sosial dalam merencanakan intervensinya dengan 4 faktor dimana masing masing faktor
mendeskripsikan unsur dalam situasi masalah klien. Keempat faktor tersebut
adalah
1.
Masalah
dalam peran berfungsi sosial. Mencakup masalah peran sosial, jenis masalah,
keparahan dan lama masalah, serta kapasitas klien untuk mengatasinya.
2.
Masalah
dalam lingkungan. Menjelaskan lingkungan yang mempengaruhi fungsi sosial klien.
3.
Masalah
kesehatan jiwa yang dialamai klien.
4.
Masalah
kesehatan fisik yang derita klien. Dalam penerapannya di situasi riil, keempat
faktor PIE ini membantu efektifitas pekerjaan sosial dalam bekerja didalam tim
bantuan psikososial. Melalui langkah langkah bantuan dalam memfasilitasi pencatatan
penemuan.
Assessment untuk
mengidentifikasikan masalah terkait dengan indikasi gangguan interaksi sosial atau
peran sosial, jenis masalah, keparahan masalah, indikasi lama masalah dan keputusan
klinis (faktor 1); identifikasi masalah dalam lingkungan klien terkait dengan
lembaga sosial yang ada, yakni sistem ekonomi/kebutuhan dasar, sistem
pendidikan/pelatihan, sistem yuridis, sistem kesehatan, kesejahteraan dan
keamanan, sistem asosiasi sukarela, dan sistem dukungan afeksi (faktor 2),
mendaftar masalah kesehatan jiwa klien menggunakan aksis 1 dan 2 dalam DSM dan
membantu sumber diagnosis (faktor 3), dan mendaftar masalah kesehatan fisik
sebagaimana didiagnosa oleh dokter dan dilaporkan oleh klien. Tentu saja
dalam tindakan intervensinya langkah-langkah ini diterjemahkan oleh pekerja
sosial menjadi 7 tahap intervensi krisis (Roberts, 1990) berupa mengakses kebutuhan
mendesak dan makna krisis bagi klien, mengembangkan kepercayaan, pengembangan metode
dalam situasi buruk, dukungan perasaan nyaman, penjajagan alternatif dalam
penyesuain diri secara cepat, merumuskan rencana tindak lanjut dan pengembangan
sistem rujukan. Demikianlah sekilas bantuan yang dapat dilakukan oleh profesi
pekerja sosial dalam penanganan masalah klien dalam berbagai situasi kedaruratan. (Erwin Novianto, Social
WorkPractice Resource Center/SWPRC)
IX. Peranan Pekerja Sosial
dalam Intervensi Krisis
Ada beberapa peran pekerja sosial untuk mengatasi klien pada
pendekatan intervensi krisis, yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai broker (perantara)
Pekerja
sosial bekerja sama dengan profesional lain untuk mendapatkan layanan dan
sumber daya yang diperlukan klien.
2. Sebagai advisor (nasehat)
Pekerja
sosial memberikan anjuran dan alternatif (misal: menasehati kliennya agar
membuat rujukan ke lembaga yang tepat, seperti lembaga kesejahteraan anak atau
klinik medis).
3. Sebagai conferee
Menurut Middleman dan Goldberg peranan ini menggambarkan dalam
suatu situasi dimana dua atau lebih orang yang
berkonsultasi bersama, mendiskusikan dan membandingkan opini-opininya,
berunding, serta merencanakan kegiatan yang akan dilakukan serta konferensi.
Aktifitas utama yang dalam peranan ini adalah upaya pemecahan masalah serta
peningkatan proses komunikasi.
Jadi
peran pekerja sosial di sini yaitu membentuk hubungan dan mengomunikasikan
harapan serta optimisme terhadap kliennya.
4. Sebagai motivator
Pekerja
sosial memberikan motivasi atau dukungan kepada klien supaya klien bersedia
melakukan perubahan intervensi krisis, bila perlu melaksanakan peran yang aktif
dan mengarahkan.
5. Sebagai
Fasilitator
Melakukan
aksi-aksi yang erat hubungannya dalam hal memberikan kesempatan, mendongkrak
semangat, dan daya dukungan bagi hidup klien. Lewat fasilitator, problem klien
akan mendapat semacam model yang akan menjembatani ia pada solusi yang
diharapkan. Jadi pekerja sosial disini membantu klien memilih alternatif.
6. Sebagai
Pendidik
Para pekerja sosial pun haruslah mampu menjadikan dirinya
sebagai pendidik. Dalam arti bukanlah sebagai guru, tetapi mengajarkan hal-hal
yang selama ini tidak benar dalam masalah klien. Pekerja sosial harus
mengaktifkan diri dalam memberikan input positif dan langsung berdasarkan
kemampuannya. Salah satu tugas pekerja sosial sebagai pendidik adalah mampu
menyampaikan informasi, membangun kesadaran kolektif menggelar pelatihan yang
tepat dan bermanfaat bagi klien, bahkan harus mampu melakukan konfrontasi.
Sedangkan keahlian dan ciri-ciri pekerja sosial adalah
sebagai berikut:
1. Mampu bertindak segera berlandaskan
penilaian yang tepat terhadap klien.
2. Cepat untuk membentuk formulasi
dalam membantu klien. Di sini pelibatan pekerja sosial adalah aktif.
3. Menggunakan kemahiran asas konseling
untuk membantu klien menuangkan perasaannya yang terpendam.
4. Mampu berhadapan dengan klien yang
beremosi dan mengalami penderitaan menyakitkan.
5. Bertanggung jawab terhadap tindakan
yang akan diambil.
6. Mempunyai keyakinan diri yang tinggi
untuk berhadapan dengan situasi klien.
X.
Intervensi
Krisis dan Task Centred
Kedua model dalam pekerjaan sosial ini memiliki ciri yang
sama yakni untuk membandingkan dan membedakan dengan penekanan utamanya tetap
pada intervensi yang didahului dengan kontrak antara klien dengan sosial worker
serta memanfaatkan lingkungan sekitar klien.
Secara eksplisit intervensi krisis didasarkan pada Ego Psikologi
Psikodinamik. Fokus dari praktek kedua model ini berbeda. Keunggulan dari
intervensi krisis (Crisis intervention) adalah menghentikan gangguan
keberfungsian masyarakat yang normal, sedangkan praktek berpusat tugas (Task
Centred) difokuskan pada menetapkan katagori‐katagori dari masalah yang ada. Keduanya mencoba untuk
memperbaiki kekuatan‐kekuatan
dalam masyarakat guna menghadapi masalah dimaksud.
Intervensi krisis dalam prakteknya membantu klien dalam
penyesuaian diri tetapi fokus terpentingnya adalah soal pengontrolan emosi bila
menghadapi masalah sekaligus untuk menguatkannya bila muncul masalah dimasa
yang akan datang.
Sementara itu, Task Centred difokuskan pada praktek yang
digunakan untuk pemecahan masalah. Intervensi krisis merupakan teori yang
bersumber dari masalah‐masalah
yang ada dalam kehidupan, sedangkan Task Centred lebih mengarah kepada proses
pemecahan masalah secara pragmatis.
Dalam pekerjaan sosial, Crisis Intervention dipandang sebagai
sebuah teknik umum dalam menghadapi masalah klien dan relevan dengan semua
bidang dalam pekerjaan sosial misalnya bidang kesehatan.
XI. Keunggulan dan
Kelemahan Intervensi Krisis
Adapun kelebihan dan kelemahan intervensi krisis yaitu
sebagai berikut:
Keunggulan intervensi Krisis:
1. Intervensi krisis adalah metode
singkat yang difokuskan secara khusus untuk mengurangi krisis situasi dan
membantu orang meningkatkan mengatasi mereka, keyakinan dan kemampuan
memecahkan masalah. Metode ini dirancang khusus untuk situasi krisis dan dapat
diadaptasi oleh pekerja sosial untuk menyalakan berbagai situasi krisis dan
cepat meringankan masalah krisis.
2. Karena sifat singkat intervensi
krisis, metode ini dapat digunakan dalam
hubungannya dengan teori-teori dan metode lainnya. Sebagai contoh, seorang pekerja sosial dapat mengimplementasikan model tujuh tahap krisis intervensi dengan keluarga untuk meringankan krisis saat ini dan kemudian beralih keteori lain atau metode (yaitu,
terapi perilaku kognitif, tugas berpusat pekerjaan sosial) untuk mengurangi tambahan
atau yang mendasari masalah.
hubungannya dengan teori-teori dan metode lainnya. Sebagai contoh, seorang pekerja sosial dapat mengimplementasikan model tujuh tahap krisis intervensi dengan keluarga untuk meringankan krisis saat ini dan kemudian beralih keteori lain atau metode (yaitu,
terapi perilaku kognitif, tugas berpusat pekerjaan sosial) untuk mengurangi tambahan
atau yang mendasari masalah.
Kelemahan Intervensi Krisis:
1. Intervensi krisis berusaha untuk
meringankan masalah yang diajukan dan tidak selalu mampu mengatasi masalah
mendasar yang mungkin berkontribusi terhadap masalah yang diajukan, seperti
diskriminasi, penindasan dan/ atau kemiskinan (Payne, 2005). Meskipun pekerja
sosial dapat menerapkan krisis antar konvensi untuk meringankan situasi krisis,
mereka harus memperhatikan mendasari isu-isu yang mungkin berkontribusi
terhadap masalah yang diajukan atau krisis, dan di mana mungkin berusaha untuk
mengatasi masalah ini melalui tindak lanjut janji atau melalui referensi ke
sumber daya lain.
2. Intervensi krisis sulit untuk
diterapkan kepada klien yang tidak menerima
dengan keterlibatan pekerja sosial. Penilaian intervensi krisis diperlukan
pekerja sosial untuk mengumpulkan informasi dari klien atau seseorang yang dapat menjawab pertanyaan pada dirinya atau atas namanya. Tanpa informasi penilaian, pekerja sosial mungkin mengalami kesulitan mengembangkan rencana aksi.
dengan keterlibatan pekerja sosial. Penilaian intervensi krisis diperlukan
pekerja sosial untuk mengumpulkan informasi dari klien atau seseorang yang dapat menjawab pertanyaan pada dirinya atau atas namanya. Tanpa informasi penilaian, pekerja sosial mungkin mengalami kesulitan mengembangkan rencana aksi.
3. Kolaborasi sejati adalah sulit untuk
berlatih dalam segala situasi krisis. Ada beberapa situasi di mana pekerja
sosial akan harus melaksanakan rencana aksi
melawan keinginan klien, seperti menghubungi polisi atau jasa darurat, keburukan untuk menjamin keamanan klien. Meskipun pekerja sosial harus berusaha untuk berkolaborasi dengan klien setiap saat ada beberapa situasi di mana mereka akan dihadapkan dengan pengambilan keputusan tersebut dan ini harus dilakukan bekerjasama dengan seorang supervisor atau kolega.
melawan keinginan klien, seperti menghubungi polisi atau jasa darurat, keburukan untuk menjamin keamanan klien. Meskipun pekerja sosial harus berusaha untuk berkolaborasi dengan klien setiap saat ada beberapa situasi di mana mereka akan dihadapkan dengan pengambilan keputusan tersebut dan ini harus dilakukan bekerjasama dengan seorang supervisor atau kolega.
BAB III
PENUTUP
I.
Simpulan
Intervensi krisis adalah metode
pemberian bantuan terhadap mereka yang tertimpa krisis, di mana membutuhkan
penanganan yang cepat dapat segera diselesaikan dan keseimbangan psikis yang
dipulihkan. Intervensi krisis ini bertujuan untuk mengembalikan individu ke
tingkat fungsi sebelum krisis dan digunakan untuk membantu individu-individu,
keluarga-keluarga dan/atau komunitas-komunitas untuk mengatasi suatu krisis
yang dirasakan dan memperbaiki tingkatan penanggulangannya.
Intervensi krisis memilki metode dimana memilki 7
tahap yaitu merencanakan dan melakukan penilaian
krisis dan biopsikososial, membuat laporan dan dengan cepat menetapkan
hubungan, mengidentifikasikan dimensi-dimensi dari masalah-masalah yang ada
sekarang, menjelajahi perasaan-perasaan dan emosi-emosi, membangkitkan dan menjelajahi
alternatif-alternatif, membangkitkan dan menjelajahi alternatif-alternatif, dan
menindak lanjuti rencana dan kesepakatan.
II.
Saran
Pekerja sosial dalaam berintervensi cenderung kearah
biopsikososial, artinya intervensi pekerjaan
sosial akan dilandasi kerangka pemikiran yang menempatkan kompleksitas masalah klien
dalam hubungan timbal baliknya dengan lingkungannya.
Namun, terdapat beberapa kelemahan di dalam intervensi krisis,
untuk itu dalam penerapannya, pekerja sosial harus dapat menerapkan krisis
antar konvensi untuk meringankan situasi krisis, mereka harus lebih
memperhatikan isu-isu mendasar yang mungkin berkontribusi terhadap masalah yang
diajukan atau krisis, dan di mana mungkin berusaha untuk mengatasi masalah ini
melalui tindak lanjut janji atau melalui referensi
Intervensi krisis sulit untuk diterapkan kepada klien yang tidak
menerima
keterlibatan pekerja sosial. Mungkin dalam pelaksanaannya, pada tahap ke-2 dan ke-3 dari tujuh tahapan Roberts yaitu menjalin hubungan dengan klien kurang maksimal, sehingga dalam hal ini pekerja sosial harus lebih aktif dan lebih hangat kepada klien sehingga klien dapat menerima kehadiran pekerja sosial dan intervensi dapat dilakukan secara maksimal.
keterlibatan pekerja sosial. Mungkin dalam pelaksanaannya, pada tahap ke-2 dan ke-3 dari tujuh tahapan Roberts yaitu menjalin hubungan dengan klien kurang maksimal, sehingga dalam hal ini pekerja sosial harus lebih aktif dan lebih hangat kepada klien sehingga klien dapat menerima kehadiran pekerja sosial dan intervensi dapat dilakukan secara maksimal.
DAFTAR
PUSTAKA
Kristin,
Kanel. 2007. A Guide to Crisis Intervention.
Australia: Thomson brooks/cole.
Payne,
Malcom. 2005. Modern Social Work Theory
3rd Edision. New York: Palgrave Macmillan
Priono, Joko. 2007. Teori Pekerjaan Sosial.
Teater,Barbra.
2010. An Introduction to Applying Social Work Theories and Methods. New
York.
0 comments:
Post a Comment